Kaki gue rasanya masih terlalu enggan untuk bersegera. Gue masih mau menikmati jalan di trotoar, liatin pedagang di pinggir jalan sambil sesekali gue liat gedung-gedung pencakar yang gue lewatin. Gue sengaja milih jalan dibanding naik angkot, karena emang gak jauh-jauh banget, lagi gak terlalu panas dan rasanya udah lama gak jalan. Gue menikmati sedikit atau banyak cerita yang bisa gue lihat dari setiap langkah yang gue tegapkan. Sampe mata gue terpukau pada sesuatu yang gue pandangi terlalu lama dan secara terus menerus. Sederhana, Cuma sebuah baliho caleg yang tertempel terlalu banyak disebuah pohon. Bukan, gue bukan mau bahas politik atau tindakan arogan para calon-calon penghuni senayan. Gue terpaku pada tulisan Surabaya, lama gue lihat sampe berkali-kali. Gue masih gak nyangka bahwa saat ini gue di kota orang, di kota yang sebelumnya gue fikirin akan disini aja gak pernah. Hampir dua tahun gue ada di kota ini. Hidup dari susah, senang, kesepian atau bahkan terlalu ramai, diasingkan dari kebanyakan orang bahkan sampai punya banyak kerabat dekat. Harus cari tiket murah biar bisa pulang ke rumah, terima kenyataan setiap sabtu minggu gigit jari di kosan karena gak bisa pulang, belajar bahasa orang sampe merasa mau pindah ke jakarta. Ada banyak hal yang masih gue sangat bingungkan gimana bisa gue melewati itu semua.
Awal pertama kali gue menginjakan kaki di Surabaya adalah
ketika gue harus daftar ulang atas keterimanya gue di Universitas ini. Gue
harus memilih penerbangan paling pagi dan nego sama supir taksi yang ngasih
harga gila karena kita gak bisa bahasa jawa. Gue bahkan harus nyasar sampai
daerah entah berantah untuk mencari jalan menuju Universitas Airlangga. Harus
berkali-kali dibingungkan dengan jawaban orang yang gue pahami sendiri
maksudnya
“pak, mau ke unair lewat mana ya?”
“oh.. itu dek nanti didepan ada stopan ambil kanan lurus aja”
Gue mengartikan stopan
adalah sebuah rambu lalulintas tanda dilarang stop. Dan gue nyasar sampe
jalan buntu yang bikin gue mau garuk-garuk aspal nangis dijalanan. Bodohnya
memang gue sama kakak gue Cuma dibekali sepedah motor sama salah satu keluarga
gue tanpa dikasih tau arahan sebelumnya.
Atau kali kedua gue menginjakan kaki di Surabaya dengan
status gue sebagai mahasiswa dan akan tinggal dalam waktu lama. Gue Cuma bisa
senyum, cengo, diem setiap siapapun orang yang ngajak ngobrol gue. Bahkan gue
ketawa waktu gue di ospek sama kakak-kakak kelas yang lagi marah-marah tapi
ngomong bahasa jawa, dan buat gue yang belom terbiasa dengan bahasa jawa
menganggap itu sebagai hal yang sangat lucu. Gue dimarahin abis-abisan dan yang
gue untungkan adalah satu katapun gue gak ngerti apa yang dia omongin ke gue.
Gue udah hampir dua tahun mengijakan kaki di tanah yang
sejak awal bahkan gue gak tau ini daerah apa. Gue harus makan sesuatu yang
belom pernah dalam hidup gue mencobanya. Kayak waktu awal banget gue dikasih
makan kupang dan gue harus muntah karena jijik ngeliat kerang-kerang kecil itu.
Gue harus lepeh-lepeh sama yang namanya petis karena gue rasa itu adalah kecap
basi yang udah dicampur sama hal-hal gak jelas. Gue harus membiasakan banyak
hal untuk bisa hidup di kota orang. Sederhananya gue harus menghilangkan kata
“gue lo” dari kamus mulut gue dan menggantinya dengan “aku kamu”
Banyak hal yang bisa gue banggakan untuk bisa ada disini.
Tapi juga banyak hal yang gue tangisi, gue rindukan atau bahkan sangat gue
sayangkan. Kadang gue merasa sangat kesepian, jauh dari teman, tapi kadang gue
ngerasa hidup gue terlalu ramai. Gue juga sering ngerasa bahwa gue sebagai
orang asing dalam hidup mereka tapi disisi lain mereka menganggap gue adalah
bagian dari keberadaan mereka.
Hampir dua tahun gue hidup di Surabaya, dan entah rasanya
sore itu kaki gue masih belum mau terangkat dari satu kata yang gue terus
pandang secara dalam. Gue melihat sejenak ke atas untuk memastikan bahwa gue
benar sedang hidup di dunia. Sampe pada masanya kadang tangan lo berbuat tanpa
pernah diri lo tahu alasannya. Atau kaki lo melangkah tanpa sebelumnya hati lo
mengatakan iya. Ada banyak hal yang kadang lo sendiri bingung bagaimana bisa
melewatinya. Karena juga ada banyak hal yang tanpa lo harus benahi akan selesai
pada waktunnya.
Masih panjang untuk gue menerka dimana gue selanjutnya
berada. Tetap di Surabaya, kembali ke Jakarta atau bahkan ke kota lain. Tinggal
Tuhan yang memberi jalan, dan gue yag menetapkan.
No comments:
Post a Comment