Untuk menjadi besi, ia harus kuat ditempa. Untuk menjadi
seelok permata ia harus tahan segala gesekan. Untuk menjadi sekuat karang, ia
harus bertahan saat diterpa ombak besar.
Tidak ada kekuatan yang lahir hanya dari takdir. Segalanya butuh proses yang terkadang
menyakitkan. Untuk menjadi jernih, air harus rela jatuh ke bawah agar alirannya
tidak mematikan. Untuk terbang tinggi, setiap burung rela meninggalkan
sarangnya. Setiap apapun yang terjadi dalam hidup adalah proses sebagai
fitrahnya berada di dunia.
Manusia juga begitu, punya andil dalam setiap proses
hidupnya. Ada yang berjalan mulus tanpa penghadang batu besar, sampai yang
berkelok menerima setiap terpaan ujian.
Saya, dulu, melawati masa dari masa dengan penuh tikungan
tajam. Kadang penah tidak bisa makan karena sudah tidak punya uang, atau harus
pulang berjalan kaki karena sisa uang bis terjatuh tanpa saya sadari. Saya pernah
merengek-rengek pada Tuhan, mengapa hidup ini tidak punya setitikpun keadilan. Saat
setelah pulang sekolah, saya tidak bisa seperti kawan lainnya yang menghabiskan
waktunya untuk nongkrong di sebuah mall. Karena saya harus berjualan membantu
pengobatan ayah saya. Saya pernah merasa hidup pantas untuk segera diakhiri,
saat berujung pada kematian ayah saya dan keluarga saya diambang kehampaan.
Tapi setelahnya saya tersadar, bahwa hidup bukan hanya
sekedar urusan perut. Meskipun berkali-kali saya marah pada Tuhan sebab lauk
kami hanya sayur sop yang dipanaskan sisa semalam. Atau saat ibu saya terpaksa
harus membobol celengan satu satunya milik saya, sebab kami sudah tidak tahu
harus makan apa lagi.
Setelahnya saya tahu diri, bahwa saya memang lahir dari
keluarga yang tidak hanya ongkang ongkang kaki. Setelah ayah saya meninggal,
dan saya menderita DBD sekaligus tipes karena kecapekan berjualan dan sekolah,
saya akhirnya bisa kembali ke kehidupan sewajarnya. Setidaknya derajat saya
naik sedikit, walaupun saya tetap berjualan, tapi dibantu dengan karyawan. Saya
diterima oleh sebuah majalah, untuk menulis di salah satu kolom. Tulisan yang
pertama saya masukan adalah tentang ayah saya. Sejak saat itu, saya merima uang
honor tiap bulan untuk membantu uang jajan sekolah saya.
Tuhan angkat derajat saya. Setidaknya saya tidak pernah
merasa terlalu kelaparan, setidaknya saya bisa menabung membeli sebuah
handphone seperti kawan-kawan saya. Setidaknya saya bisa menikmati duduk di
kursi empuk sebuah cafe. Tuhan angkat derajat keluarga saya, setidaknya abang
dan kakak saya sudah memiliki keluarga, memiliki title dan pangkat untuk
dibayar dengan gaji yang tinggi. Tuhan angkat derajat ibu saya, yang sebelumnya
tidak bisa apa-apa kini memiliki usaha sendiri di rumahnya. Tuhan angkat
derajat saya, yang setidaknya bisa memberi makan diri saya sendiri tanpa pernah
meminta kepada keluarga. Setidaknya saya bisa mengurusi diri saya sendiri tanpa
bantuan kaka dan abang saya.
Tapi.. Tuhan kembali
buat tikungan tajam dalam hidup saya. Yang saya harus kembali melewatinya. Setelah
sebelumnya jalan itu lurus, mulus tanpa terputus. Tuhan mau angka derajat saya
lebih tinggi, maka saya harus tertatih melewati ujian ini.