Friday, March 21, 2014

The Real Konco (2)

We’ll get lost together, till the light comes pouring trough. ‘Cause when you feel like you’re done and the darkness has won. Babe, you’re not lost!
When your world’s crashing down and you can’t bear the thought. I said “babe, You’re not lost!!”


Saat lo jatuh dalam kedalaman yang lo sendiri tidak pernah menduga sebelumnya, jatuh pada posisi yang paling menyakitkan. Cuma ada beberapa orang yang dapat membantu lo bangkit dan seraya menggotong lo pada masa ketika lo ditempat sebelumnya. Cuma ada beberapa orang dari mereka yang pernah silih berganti dateng kekehidupan lo. Keluarga lo dan Sahabat lo. Dua itu, adalah makhluk sempurna yang Tuhan ciptakan untuk menyempurnakan kehidupan lo. Siapa yang dapat menjadikan masalah yang sedang lo hadapi saat ini terlihat lebih mudah adalah sejatinya sahabat lo sendiri. Kalo mereka yang saat ini berada didekat lo dan membuat permasalahan hidup lo malah menjadi lebih rumit atau bahkan tidak terpecahkan, maka mereka bukan sahabat lo.

Sederhananya gue menyebut mereka adalah The Real Konco, gue suka panggilan itu. Satu-satunya makhluk yang bisa bikin gue tertawa disaat tangisan gue belum selesai. Orang yang berani nampar gue didepan karena kesalahan yang dengan bodoh gue benarkan. Cuma mereka, yang mampu mengangkat gue dari gelap menjadi terang, dari rapuh menjadi kuat, dari hilang menjadi terlihat. Gue sedang berada dalam masa tersulit yang pernah gue hadapi. Tapi mereka, The Real Konco gue itu, malah membuat masalah yang gue hadapin seolah gak ada. Mereka mengijinkan gue nangis, senangis-nangisnya yang bisa gue tangisi. Mereka mengijinkan gue marah, semarah-marahnya yang bisa membuat gue dengki. Tapi entah, dimana rumus mereka membuat seolah masalah besar itu terlihat jadi sederhana. Bukan Cuma soal lelucon yang bisa gue dapatkan dari banyak orang. Mereka punya satu perekat untuk rasa nyaman. Gue gak bisa memuntahkan apa yang ada difikiran gue selain kepada mereka. Sekalipun gue bersumpah untuk menyembunyikanya, maka dengan perlahan mereka akan tahu tanpa gue cerita. Pada hakikatnya, kesempurnaan dari hidup yang lo jalani adalah mereka, The Real Konco yang lo cintai bahkan lebih dari pacar lo sendiri.

Lo mungkin mudah tertawa dengan orang banyak yang bahkan baru lo temui. Tapi untuk menangis, lo gak bisa meminjam bahu orang lain, karena bahu lo adalah The Real Konco lo itu sendiri. Justru kalo mereka gak mau jadi sandaran untuk lo tangisi, atau mereka tidak bersandar kepada lo, keberadaan lo saat ini akan menjadi pertanyaan besar. Lo bukan The Real Konco dia, dan keberadaan lo hanya untuk tawa dia. Sesederhana itu.

Karena mereka adalah, orang yang mendoakan lo diam-diam untuk segala yang sedang lo alami. Mereka yang diam-diam berbicara pada Tuhan agar setiap masalah yang lo alami akan cepat dilalui. Mereka yang dengan mati-matian membuat lo tertawa walaupun harus gondok setengah mati karena senyum saja tidak ada. Mereka, The Real Konco lo yang bahkan menyayangi lo tanpa pernah harus memberi tahu lo dengan jelas. Mereka yang dengan ikhlas terlibat masalah yang bahkan seharusnya tidak mereka lalui.

Karena The Real Konco lo itu akan ikut tersesat ketika lo merasa hilang. Ikut berduka saat lo dalam keadaan terluka. Ikut marah ketika lo dicaci maki seseorang. Mereka yang lebih baik ikut nangis bareng kesedihan lo dibanding dengan lo nangis sendirian.


Kalo gue gak punya The Real Konco, gue sering berfikir mungkin gue akan jadi orang gila dipinggir jalan. Terlunta tidak punya kebahagiaan. Karena kadang, lo hanya butuh telinga yang untuk mendengar, bukan selamanya butuh diberi saran. Ada masalah yang bahkan tidak perlu diselesaikan, karena waktu yang akan menyelesaikanya sendiri. Tapi The Real Konco gue itu hanya menjadi kuping untuk sekedar gue bercerita. Dan membuat gue lupa pada masalah yang gue alami sendiri. Gue gatau mereka diberi rumus apa oleh Tuhan, yang jelas mereka dipertemukan untuk disempurnakan. Kalo mereka yang saat ini didekat lo tapi tidak menjadi bahu lo saaat lo nangis, bisa jadi mereka bukan The Real Konco lo yang sebenarnya.

Saturday, March 15, 2014

Positivisme ; Kamu Bisa Terlihat Menjadi dungu




Kalau aku menangis apa kamu selalu setuju bahwa saat itu aku dalam kesedihan yang teramat sakit.  Lantas menangisku dalam isak supaya semua orang tahu bahwa kesedihanku saat itu terlalu dalam untuk dirasakan. 
Kalau aku tertawa apa kamu selalu setuju bahwa saat itu aku dalam kebahagiaan yang teramat hingga kamu merasa perlu tertawa untuk sekedar ikut bahagia. Sampai-sampai perutku sakit karena terlamapu terpingkal atau tawa yang dibuat-buat untuk sekdar memperlihatkan aku sedang bahagia.

Apa selalu seperti itu? Kalu aku diam dianggap marah padahal aku terlalu setuju sampai bibirku hanya bisa diam melihatmu. Aku tersenyum, dianggapmu setuju padahal teramat aku kesal melihat tingkah lakumu.

Kamu tahu, dalam sebuah buku tebal yang hanya aku mau baca ketika dosen memintaku membacanya. Ada sebuah kalimat, yang terlalu sering kita dengar, terlalu sering kita baca, tapi membuatku berulang-ulang membacanya. Sederhana saja. Pandangan positivisme Auguste Comte. Aku tidak akan menjelaskannya secara detail, berlibet dan bahkan kamu akan sangat bosan membacanya. Karena disini, yang aku ingin tulis bukan mengapa Comte menciptakan teori itu, keterkaitan teori itu atau apapun. Sederhana saja aku mengatakan pengertian Positivisme “Apa yang terjadi seperti itulah realitas sebenarnya” aku tahu ini terlalu sederhana, atau bahkan banyak Sosiologis yang tidak akan menerima. Jadi kalau kamu mau lebih tahu apa itu, kamu bisa membacanya di buku tebal itu, atau sekedar mencarinya di bapak gugel serba tahu.

Dalam teori itu, aku dituntut untuk menjadi sok tahu. Menyatakan hal-hal yang hanya tersirat dari padangan mata. Tanpa sempat mencari tahu lebih detailnya. Saat aku melihat seorang gelandangan yang mengemmis dipinggir jalan dengan baju compang camping yang digunakan, mata tertutup sebelah, bau yang sudah tidak jelas dari mana asalnya, sesekali ia meneguk air dari botol tak berlebel yang sedikit kuning. Aku akan cepat menduga, betapa kashian hidupnya, menjadi susah, tidak punya uang, tidak punya rumah dan bahkan tidak bisa bahagia. Hanya dalam pandangan mata aku dapat menyimpulkan kehidupan seseorang. Bukankah itu kejam? Padahal ternyata ketika hendak pulang si pengemis tadi dijemput mobil mewah, berpenghasilan 5 juta perharinya dan punya rumah dikawasan elit. Dan, siapa yang lebih kejam ternyata?

Kalau kamu sedang melihat seseorang tertawa lebar, apa sebenarnya ia dalam posisi terlalu bahagia? Sampai kamu menyimpulkan tidak ada masalah besar dalam hidupnya atau bahkan sekedar iri hidupnya terasa lebih ringan dibanding kamu. Apa sesederhana itu? Melihat seseorang diam, bungkam, lalu kamu pastikan dia dalam posisi amarah, yang membuat kamu enggan menggubrisnya. Tanpa sekedar bertanya untuk memastikan walau berawal dari basa-basi sampah.

Kenapa banyak dari kita yang sibuk menganut paham positivisme ini dalam keadaan yang sepatutya tidak perlu, membuat bahkan banyak kerenggangan dalam hubungan.

Kenapa banyak dari kita yang terlalu cepat memastikan tanpa lebih dulu menanyakan. Yang sehingga dari itu membuat kesalahpahaman fatal.

Kalau kamu bisa lebih dulu menanyakan, lalu mengapa dengan lantang kamu pastikan dan beri tahu pada semua orang. Karena apa yang kamu lihat, kamu baca dan kamu dengar tanpa kamu cari tahu kebenaranya pada yang bersangkutan belum tentu yang terjadi sebenarnya, kawan.

Friday, March 14, 2014

Bagaimana Bisa, Cinta Pertamamu Mencintai-Orang-yang-Amat-Kamu-Cintai Juga ??




Bagaimana bisa? Cinta pertamaku telah jatuh cinta pada perempuan lain yang bahkan sejak aku belum lahir. Laki-laki pertama yang aku cintai mencintai orang yang juga aku sangat cintai.

Saat sebuah pagi dia duduk dengan kopi dan korannya, bersama orang yang dia cintai itu, berdua dengan hangat berbincang soal masa depan.  Aku akan cemburu dan lekas naik ke pangkuanya meminta rasa yang sama. Bercengkrama, sedikit saja merasakan cinta yang juga dia berikan kepadaku.
 
Saat wajahnya kusut baru pulang kerja, dan orang yang dicintainya itu tersenyum merekah diruang tamu seraya membawakan segelas air putih, aku akan lebih dulu memeluknya, memberi kecupan mesra.

Aku selalu cemburu, saat cinta pertamaku itu, juga memberikan cintanya pada orang lain yang selain aku. Saat aku fikir yang diberi hadiah istimewanya hanya untuk aku seorang, justru malah dia berikan pada orang lain atau cinta matinya itu. 
Aku kesal juga cemburu. Tapi lalu dia menghampiriku, “kan sudah dibelikan mainan” seraya menggendongku manja. 

Ini cinta, yang bahkan sampai saat aku dewasa masih terasa.

Sampai pada saat aku menemukan laki-laki lain, dan cinta yang dulu aku miliki satu-satunya untuk laki-laki itu terbagi pada laki-laki lain. Dia hanya tersenyum semanis yang biasanya ia lakukan, hangat, menenangkan.   

Ia bahkan tidak sedikitpun melarangku mencintai laki-laki lain itu, walaupun ia tau, cintaku mungkin padanya tidak seperti dulu. Tapi sekali lagi, ia tersenyum manis kepadaku.


Sampai pada saatnya laki-laki lain itu pergi meninggalkan aku, cinta pertamaku itu, memeluku yang menangis tersedu. Dia tidak pernah bilang bahwa laki-laki seperti itu, yang dia katakan adalah dia akan selalu bersamaku.

Kalau aku bisa, untuk jatuh cinta, sebelum ibuku mencintai dia. Kalau saja aku bisa, berada diumur yang sama serta hidup memiliki keluarga bersamanya.

Aku akan teramat mencintainya dan tidak akan mungkin melepasnya. Bahkan sampai Tuhan yang menakdirkan untuk siapa yang lebih dulu meninggalkan.

Cinta pertamaku itu, Ayahku. Laki-laki yang dengan kumis tipis selalu merayuku dengan ciuman  setiap pagi. Mengatakan cintanya sebelum aku lelap dan memimpikan dia.

Sampai Saatnya Datang


Kalau suatu hari nanti kamu datang untuk hanya menanyakan sebuah kabar. Aku bersumpah untuk mengubur apapun yang perah ada. 

Perasaan sekecil apapun yang aku punya padamu. 
Aku akan berhadapan sebagai orang biasa yang-tidak-pernah-jatuh-cinta-kepadamu. Supaya kita bisa berbicara setenang dahulu. 
Supaya kita bisa berteman seperti perjanjian kita diawal.

Bgaimana kabarmu disana? Dingin? Seperti matamu sebelum hari dimana kita sama-sama pergi. Seperti kata-katamu yang membuat aku beku disaat kita terakhir bertemu.

Aku masih menunggu sampai hari itu datang. Kita, bertemu, sebagai teman lama yang tanpa kabar. Berpapasan dijalan, sambil menanyakan kehidupan.

Karena aku tidak tahu kapan datangnya hari itu, maka sejak sekarang. Aku kubur perasaan lama ini, seraya berharap kita bisa bertemu seperti teman lama itu.

Di Jakarta saja kita masih belum bisa menemukan satu sama lain. Apalagi nanti kamu ke negeri orang. 
Sekali saja, aku berharap takdir memihak pada permintaanku.