Tuesday, March 22, 2016

Sebait Cerita Tentang Hidup


Untuk menjadi besi, ia harus kuat ditempa. Untuk menjadi seelok permata ia harus tahan segala gesekan. Untuk menjadi sekuat karang, ia harus bertahan saat diterpa ombak besar.
Tidak ada kekuatan yang lahir hanya dari  takdir. Segalanya butuh proses yang terkadang menyakitkan. Untuk menjadi jernih, air harus rela jatuh ke bawah agar alirannya tidak mematikan. Untuk terbang tinggi, setiap burung rela meninggalkan sarangnya. Setiap apapun yang terjadi dalam hidup adalah proses sebagai fitrahnya berada di dunia.

Manusia juga begitu, punya andil dalam setiap proses hidupnya. Ada yang berjalan mulus tanpa penghadang batu besar, sampai yang berkelok menerima setiap terpaan ujian.
Saya, dulu, melawati masa dari masa dengan penuh tikungan tajam. Kadang penah tidak bisa makan karena sudah tidak punya uang, atau harus pulang berjalan kaki karena sisa uang bis terjatuh tanpa saya sadari. Saya pernah merengek-rengek pada Tuhan, mengapa hidup ini tidak punya setitikpun keadilan. Saat setelah pulang sekolah, saya tidak bisa seperti kawan lainnya yang menghabiskan waktunya untuk nongkrong di sebuah mall. Karena saya harus berjualan membantu pengobatan ayah saya. Saya pernah merasa hidup pantas untuk segera diakhiri, saat berujung pada kematian ayah saya dan keluarga saya diambang kehampaan.

Tapi setelahnya saya tersadar, bahwa hidup bukan hanya sekedar urusan perut. Meskipun berkali-kali saya marah pada Tuhan sebab lauk kami hanya sayur sop yang dipanaskan sisa semalam. Atau saat ibu saya terpaksa harus membobol celengan satu satunya milik saya, sebab kami sudah tidak tahu harus makan apa lagi.
Setelahnya saya tahu diri, bahwa saya memang lahir dari keluarga yang tidak hanya ongkang ongkang kaki. Setelah ayah saya meninggal, dan saya menderita DBD sekaligus tipes karena kecapekan berjualan dan sekolah, saya akhirnya bisa kembali ke kehidupan sewajarnya. Setidaknya derajat saya naik sedikit, walaupun saya tetap berjualan, tapi dibantu dengan karyawan. Saya diterima oleh sebuah majalah, untuk menulis di salah satu kolom. Tulisan yang pertama saya masukan adalah tentang ayah saya. Sejak saat itu, saya merima uang honor tiap bulan untuk membantu uang jajan sekolah saya.

Tuhan angkat derajat saya. Setidaknya saya tidak pernah merasa terlalu kelaparan, setidaknya saya bisa menabung membeli sebuah handphone seperti kawan-kawan saya. Setidaknya saya bisa menikmati duduk di kursi empuk sebuah cafe. Tuhan angkat derajat keluarga saya, setidaknya abang dan kakak saya sudah memiliki keluarga, memiliki title dan pangkat untuk dibayar dengan gaji yang tinggi. Tuhan angkat derajat ibu saya, yang sebelumnya tidak bisa apa-apa kini memiliki usaha sendiri di rumahnya. Tuhan angkat derajat saya, yang setidaknya bisa memberi makan diri saya sendiri tanpa pernah meminta kepada keluarga. Setidaknya saya bisa mengurusi diri saya sendiri tanpa bantuan kaka dan abang saya.


Tapi..  Tuhan kembali buat tikungan tajam dalam hidup saya. Yang saya harus kembali melewatinya. Setelah sebelumnya jalan itu lurus, mulus tanpa terputus. Tuhan mau angka derajat saya lebih tinggi, maka saya harus tertatih melewati ujian ini.