Saturday, May 2, 2015

Madura, Sejumput asa untuk mencapai cita-cita





Ditengah rintik-rintik hujan yang turun, saya menyantap dua gorengan hangat yang disajikan pemilik warung. Saat itu tidak terlalu dingin, tapi hujan setidaknya membuat cuaca tidak sepanas yang orang banyak bilang. Saya sedang di Madura. Sebuah pulau yang terletak di timur Jawa. Menikmati gorengan ketiga, hujan semakin besar. Saat itu saya bersama beberapa kawan untuk menyambangi  tempat wisata yang terletak di sebrang pulau. Karena masih harus berangkat besok subuh, kami mencari penginapan dengan budget yang sangat murah.

Sambil menikmati hujan dan mencari penginapan tersebut, kami menikmati gorengan yang dijual warkop persis di sudut pelabuhan Kali Anget. Wajah ibu penjual sangat jutek seperti menahan amarah. Beberapakali kawan yang bertanya dijawab dengan singkat dan seadanya. Memang kami datang secara ramai-ramai dan berisik banyak cerita dan tawa. Saya rasa dia terganggu dengan kedatangan kami. “ibu ini gak seneng kita beli gorengannya ya?” saya berbisik pada kawan di sebelah. “bukan bego, emang orang Madura mukanya gitu semua, sensi” setelahnya saya hanya membalas kalimat oh. Berarti saya harus bersiap pada jam-jam berikutnya akan bertemu dengan wajah serupa dari penjual gorengan ini. wajahnya seperti ketika kalian menumpang dikamar mandi orang yang sedang menahan pipis. Bete jutek pengen ngebacok gimana gitu.

Tidak tahan melihat sinisnya penjual gorengan ini, saya berteduh dengan mencari tempat lain. Walaupun tidak ada bangku, setidaknya atap toko yang tutup itu membuat saya aman dari kebasahan. Saya memandangi jalan yang basah oleh air hujan. Menatap beberapa kendaraan yang lewat membuat kubangan air terciprat. Tidak menyangka, saya berada di ujung kota Madura. Berjarak ratusan kilometer dan harus di tempuh 5 jam dari Surabaya.

Sahabat saya di sebelah juga menatap jalan, sibuk dengan fikirannya yang entah itu apa. Lalu timbul satu pertanyaan dari mulut saya “ming, Madura gede banget ya ternyata. Tapi kenapa orang Madura tersebar di kota lain dan bahkan menguasai daerah itu” saya bertanya. Sedikit jeda. Saya biarkan fikiran kita bermain mencaari jawabannya. Lalu dia menjawab “orang Madura itu kayak orang China bib, etos kerja mereka tinggi. Artinya mereka punya keinginan kerja keras untuk mencapai kesuksesan mereka. Dan ketika mereka tidak menemukan itu di kota mereka, lalu mereka hijrah ke kota lain buat cari kesuksesannya” dia  menjawab. Got it, bener apa yang dikatakannya.

Seribu persen saya setuju dengan yang dikatakan sahabat saya itu. Orang Madura memiliki keinginan yang sangat besar untuk mencapai kesuksesan mereka. Dan di kota mereka sendiri mungkin bukan ladangnya. Sehingga mereka berpindah ke kota lain untuk mencari peluang kesuksesan.

Pernah ke tanah abang? Saya pernah. Kalau tidak salah di pinggiran luar blok F ada sederet pedagang beberapa macam jenis makanan.  Kebetulan waktu itu saya sangat kelaparan dan ingin makan makanan yang pas. Sudah lama di Suabaya dan  peluang ke Jakarta hanya ketika liburan, saya rasa beli makanan yang khas Jakarta tidak ada salahnya. Saya pilih soto Betawi sebagai pemadam kelaparan saya siang itu. Ditengah menikmati suapan soto Betawi tersebut, pedagang soto yang saya beli itu berbincang dengan pedagang nasi padang di sebelahnya. Saya sedikit tersedak mendengar pembicaraan mereka. Memang, saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, sama sekali tidak tahu. Yang saya kagetkan adalah logat yang mereka pake adalah Madura. Saya tahu logat tersebut karena ada kawan saya yang orang Madura. Ini Jakarta loh ya, Jakarta apa segitu kekurangan orang Betawi kah sampai penjual soto betawi harus orang Madura. Pedagang nasi padang di sebelahnya juga, tidak jauh ada pedagang mie ayam Jakarta yang diajak berbicara dengan logat yang sama.

Yang membuat saya berfikir saat itu adalah kenapa mereka tidak mengharumkan nama kota mereka sendiri, ketimbang menjual nama kota yang menjadi tempat mereka menumpang. Soto Madura bahkan tidak kalah enak dengan soto Betawi. Nasi Madura pula menikmati kenikmatan yang sama dengan Nasi Padang.

Tidak hanya di Jakarta, saya kerap menemui beberapa daerah yang  terdapat sekumpulan orang Madura. Menetap disana dan berpenghasilan dengan jumlah yang lumayan.

Obrolan ditengah gerimis itu saya lanjutkan ketika menyantap makan malam di salah satu warung pelabuhan. Saat itu saya bertanya pada kawan lain mengenai apa yang saya fikirkan. Dia menjawab hal yang hampir serupa dengan sahabat saya ini. “Gila ya Madura tuh ternyata gede buanget, tapi yang gue liat selama perjalanan kosong di beberapa lahan. Artinya rumah disini masih sedikit dibanding lahan-lahan kosong seperti hutan, sawah atau tambak. Kenapa mereka gak bangkitin kota mereka sendiri dan malah hijrah ke kota lain”

Kami memang belum melakukan penelitian tentang apa yang kami dapatkan melihat pulau diatas timur Jawa ini. Tapi setidaknya obrolan saya itu membuahkan semangat dalam diri saya. Bahwa hidup bukan tentang berpangku pada tempat kelahiran. Terkadang kita butuh hijrah ke kota lain untuk mendapat apa yang kita citakan. Sama seperti Madura, yang merasa bahwa kotanya tidak akan membuat kemajuan. Bukan berarti hanya diam dan meratap pada nasib hidup. Setidaknya kita harus menentukan pilihan untuk keluar, hingga mendapatkan apa yang kita inginkan dan lalu tidak lupa untuk pulang.

Surabaya-Madura; Penumpang angkutan sapi itu bernama Manusia






Bulan lalu, saya diajak dalam perjalanan para kawan kuliah untuk menjelajah alam. Lokasi wisata yang dikunjungi adalah pulau di ujunga Madura. Jujur saja, dulu sekali telinga saya terlalu sensitif mendengar kata Madura. Mendengar konflik yang terjadi di Sampang atau Sampit melibatkan kota ataupun masyarakat  Madura dengan munculnya konflik kekerasan. Sehingga fikiran saya kerap melabel bahwa betapa menyeramkannya orang Madura.

Berangkat dengan kawan kuliah dan disupiri sahabat saya, perjalanan yang kami tempuh bahkan sampai lebih dari lima jam. Lokasi yang akan kami tempuh berada di ujung pulau Madura, dan bahkan harus menyebrang pulau dengan menyewa kapal. Tiba di pelabuhan Kali Anget persis ketika adzan maghrib berkumandang, saya dibuat menakjubkan dengan banyak realitas yang saya dapat dari jalanan. Saya melihat ada sebuah mobil pick up, di dalamnya teradapat 4 ekor sapi. Yang membuat saya semakin tercengang adalah diantara sela-sela sapi diikat, ada segerombol manusia turut menumpang pick up tersebut. Sayang saya tidak sempat mengambil gambar, saya hanya menatapnya lama sangat dalam. Bahkan sahabat saya ini kehilangan keseimbangan,  ia mengaku konsentrasinya terganggu melihat mobil di depannya itu. Saya diam sesaat, saya perkira ada belasan orang yang menumpang di sana. Ditumpukan rumput makanan sapi dan kotoran yang dikeluarkan selama perjalanan. Mereka berdesakan. Bahkan ada beberapa yang persis berada di pantat sapi. Tuhan, saya bayangkan betapa merananya menjadi mereka. Tapi saya melihat mereka enjoy dengan perjalanannya, bahkan mereka mengobrol dan tertawa antar sesama penumpang lainnya.

Sampai di pelabuhan dengan keadaan gerimis. Kami menepi di salah satu warung kopi pelabuhan. Dengan asupan gorengan hangat, saya menikmati hujan dan menatap ke jalanan. Sampai ada satu pick up yang tadi mengangkut orang dengan sapi itu lewat, saya meringis dalam hati. Mungkin mereka ingin menumpang ke pelabuhan untuk menyebrang untuk pulang ke pulaunya masing-masing. Duduk dengan mengunyah tahu goreng isi, sahabat saya menyenggol memberi isyarat saya harus melihat apa yang dilihatnya. Sebuah pick up lewat lagi, persis seperti tadi. 4 ekor sapi dengan tumpukan penumpang manusia, yang ini lebih banyak saya perkirakan hampir 20 orang. Bahkan beberapa ada yang menggandol di belakang.

Tidak hanya soal pick up pengangkut sapi yang ditumpangi manusia. Dalam perjalanan, saya juga melihat sebuah bis yang berhenti di tengah jalan semaunya. Saya tahu memang sudah biasa para supir angkutan umum berhenti di tengah jalan tanpa perasaan menganggu pengguna jalan lainnya. Tapi bus ini benar-benar ditengah jalan, tidak berusaha untuk menepi padahal masih ada celah banyak. Yang lucu, pengguna jalan di belakangnya tidak ada yang mengklakson memberi tanda bahwa itu mengganggu perjalanannya. Mereka dengan santai menyalip bis tersebut jika mendapat celah dari arah berlawanan. Dan ini terjadi secara berulang. Saya geleng kepala bukan main. “sudah supir bis, madura pula!” ujar saya pelan.