For some people travel is a part of their personal
description. Ada yang menjadikan perjalanan sebagai bagian dari masa mudanya,
ada yang menjadikan perjalanan adalah hal yang paling dibenci dalam hidupnya
atau ada yang menjadikan perjalanan adalah hal yang biasa-biasa saja.
People travel for
different reasons. Ada yang hanya sekedar untuk bermain, ada yang untuk
menamatkan dirinya atas keagungan penciptaan yang maha kuasa, atau ada yang
sekedar untuk menghamburkan uang. Namun, some travel for a greater purposer.
Seperti aku yang sedang duduk di bawah kayu, menikmati deru mesin kapal yang
semakin menua. Dibelakangku ada nahkoda kapal yang kulitnya mulai gosong,
saking terpaparnya matahari setiap hari. Sedang di sisi depan kepala kapal ada
beberapa orang dengan berbahasa asing menikmati pemandangan.
Kami menuju sebuah pulau di barat pulau Bali. Sejenak
melepas penat tentang apa yang sedang kami kejar, bernama skripsi. Aku, bersama
seorang sahabatku dan dua kawan sebangku kuliah. Berpergian dari Surabaya
menuju pucuk pulau Jawa dengan berkendara motor. Percayalah, ini ide tergila
yang pernah aku lakukan. Dibanding sebelumnya berpergian sendirian ke
kalimantan menggunakan pesawat, atau ke daerah lampung dan jambi hanya
berkunjung ke rumah guru lama. Ini lebih gila.
Menggunakan sepeda motor selama
9 jam, bocor ditengah malam tanpa ada satupun bengkel yang buka. Lalu kami
menggedor sebuah rumah yang didepannya terpampang tulisan “Bengkel”. Keluar
bapak tua yang matanya memerah, aku berkali-kali mengucap maaf, menganggu
tidrunya hanya karena dua paku yang menancap di ban belakang motor. Ia hanya
tertawa ramah “Saya pernah merasakan apa yang kalian rasakan. Jangan
berterimakasih, saya tahu rasanya bagaimana menjadi kalian” pernyataan itu
membuat aku sedikit lebih tenang. Setidaknya
perjalanan kami yang masih panjang ini punya cerita. Pukul 2 pagi, belum
makan malam dan perjalanan masih 4 jam lagi. Dua kawanku masih sibuk dengan
batangan rokoknya, sedang kami menunggu dengan mata sayup dan menimpal lelucon
tidak berguna.
Pada akhirnya kami tiba, di pulau yang telah dimimpikan
banyak orang. Menikmati keindahan bawah laut, melihat dari dekat bagaimana
ribuan ikan menempati habitatanya. Berjalan di bibir pantai menikmati terik
yang menusuk tajam ke kulit. Sekedar berenang dari ujung sampai ujung tanpa
bantuan pelampung. Berpindah dari satu batu karang ke batu karang lain tanpa
bermaksud untuk merusak.
Aku sudah mencintai laut, sejak kecil. Saat Ayah membawa
liburan keluarga menuju satu pulau di Jakarta. Pulau Untung Jawa, waktu itu
sangat indah karena belum banyak yang tahu tentang keelokannya. Lalu
tahun-tahun berikutnya, saat ayah sudah tiada, aku berlibur bersama dua kakak
dan satu adik kembali mengunjungi sebuah pulau di Indonesia. Pertamakalinya,
dalam hidup mencoba menjelajah dalam laut. Lalu aku jatuh cinta, sangat dalam
pada keelokan kehidupan laut disana.
Beberapa kali aku telah menjelajah untuk mengintip karang
milik Indonesia. Dari bangka belitung, kalimantan, NTT, dan pulau-pulau kecil
di tempat lain, tapi kali ini, aku
terpesona dibuatnya. Pulau ini sangat terawat, dijaga oleh kaki-kaki pendatang.
Jika ada yang berani merusak, mereka harus bertanggung jawab.
Aku sempat terombang ambing oleh ombak. Lalu pusing tidak
karuan. Menepi sejenak dan bersandar diatas kapal. Demi Tuhan ini yang kedua
kalinya snorkeling berujung jadi mabok laut. Kata pak nahkoda, atau nelayan?
Baik kita sebut di nahkoda saja. Aku salah mengambil langkah, malah menahan
ombak dan jadilah pusing dibuat. Apalagi dengan belum sarapan pakai nasi,
matilah sudah badan terkapar diatas kapal.
Ada senandung-senandung yang terus berkecamuk dalam batin.
Tentang kebahagiaan yang telah aku capai dan keindahan yang telah kusaksikan
bersama orang-orang yang berharga. Dalam bisik pada air yang terbuai karena
deru kapal, aku berucap “Semoga ini bukan jadi perjalananku yang terakhir ya..
tunggu nanti..” | Banyuwangi 18 oktober 2015