Wednesday, October 21, 2015

For some travelers.. love is..


For some people travel is a part of their personal description. Ada yang menjadikan perjalanan sebagai bagian dari masa mudanya, ada yang menjadikan perjalanan adalah hal yang paling dibenci dalam hidupnya atau ada yang menjadikan perjalanan adalah hal yang biasa-biasa saja.

People travel for  different reasons. Ada yang hanya sekedar untuk bermain, ada yang untuk menamatkan dirinya atas keagungan penciptaan yang maha kuasa, atau ada yang sekedar untuk menghamburkan uang. Namun, some travel for a greater purposer. Seperti aku yang sedang duduk di bawah kayu, menikmati deru mesin kapal yang semakin menua. Dibelakangku ada nahkoda kapal yang kulitnya mulai gosong, saking terpaparnya matahari setiap hari. Sedang di sisi depan kepala kapal ada beberapa orang dengan berbahasa asing menikmati pemandangan.



Kami menuju sebuah pulau di barat pulau Bali. Sejenak melepas penat tentang apa yang sedang kami kejar, bernama skripsi. Aku, bersama seorang sahabatku dan dua kawan sebangku kuliah. Berpergian dari Surabaya menuju pucuk pulau Jawa dengan berkendara motor. Percayalah, ini ide tergila yang pernah aku lakukan. Dibanding sebelumnya berpergian sendirian ke kalimantan menggunakan pesawat, atau ke daerah lampung dan jambi hanya berkunjung ke rumah guru lama. Ini lebih gila. 

Menggunakan sepeda motor selama 9 jam, bocor ditengah malam tanpa ada satupun bengkel yang buka. Lalu kami menggedor sebuah rumah yang didepannya terpampang tulisan “Bengkel”. Keluar bapak tua yang matanya memerah, aku berkali-kali mengucap maaf, menganggu tidrunya hanya karena dua paku yang menancap di ban belakang motor. Ia hanya tertawa ramah “Saya pernah merasakan apa yang kalian rasakan. Jangan berterimakasih, saya tahu rasanya bagaimana menjadi kalian” pernyataan itu membuat aku sedikit lebih tenang. Setidaknya  perjalanan kami yang masih panjang ini punya cerita. Pukul 2 pagi, belum makan malam dan perjalanan masih 4 jam lagi. Dua kawanku masih sibuk dengan batangan rokoknya, sedang kami menunggu dengan mata sayup dan menimpal lelucon tidak berguna.

Pada akhirnya kami tiba, di pulau yang telah dimimpikan banyak orang. Menikmati keindahan bawah laut, melihat dari dekat bagaimana ribuan ikan menempati habitatanya. Berjalan di bibir pantai menikmati terik yang menusuk tajam ke kulit. Sekedar berenang dari ujung sampai ujung tanpa bantuan pelampung. Berpindah dari satu batu karang ke batu karang lain tanpa bermaksud untuk merusak.



Aku sudah mencintai laut, sejak kecil. Saat Ayah membawa liburan keluarga menuju satu pulau di Jakarta. Pulau Untung Jawa, waktu itu sangat indah karena belum banyak yang tahu tentang keelokannya. Lalu tahun-tahun berikutnya, saat ayah sudah tiada, aku berlibur bersama dua kakak dan satu adik kembali mengunjungi sebuah pulau di Indonesia. Pertamakalinya, dalam hidup mencoba menjelajah dalam laut. Lalu aku jatuh cinta, sangat dalam pada keelokan kehidupan laut disana.

Beberapa kali aku telah menjelajah untuk mengintip karang milik Indonesia. Dari bangka belitung, kalimantan, NTT, dan pulau-pulau kecil di tempat lain,  tapi kali ini, aku terpesona dibuatnya. Pulau ini sangat terawat, dijaga oleh kaki-kaki pendatang. Jika ada yang berani merusak, mereka harus bertanggung jawab.

Aku sempat terombang ambing oleh ombak. Lalu pusing tidak karuan. Menepi sejenak dan bersandar diatas kapal. Demi Tuhan ini yang kedua kalinya snorkeling berujung jadi mabok laut. Kata pak nahkoda, atau nelayan? Baik kita sebut di nahkoda saja. Aku salah mengambil langkah, malah menahan ombak dan jadilah pusing dibuat. Apalagi dengan belum sarapan pakai nasi, matilah sudah badan terkapar diatas kapal.




Ada senandung-senandung yang terus berkecamuk dalam batin. Tentang kebahagiaan yang telah aku capai dan keindahan yang telah kusaksikan bersama orang-orang yang berharga. Dalam bisik pada air yang terbuai karena deru kapal, aku berucap “Semoga ini bukan jadi perjalananku yang terakhir ya.. tunggu nanti..” | Banyuwangi 18 oktober 2015

Wednesday, September 9, 2015

Tuhan diantara dua perbedaan





“Jika kamu yakin dengan Yesus, dan aku yakin dengan Allah. Berani tidak bersumpah mengatasnamakan agama siapa yang paling benar” pertanyaan itu sejenak membuat jeda antar obrolan kita berdua. Saya, dan sahabat saya yang sejak tadi berbicara panjang tentang agama.
Sebelumnya kenalkan, dia ini Natassya, Kristen asli Batak yang sudah bertanah air Surabaya. kita sering bertukar pikiran tentang agama siapa yang paling benar. Dan hasilnya, kita ilhami sendiri sebagai sebuah kepercayaan.

Sejak pagi, ketika ia tiba di kosan saya beberapa pertanyaan saya lontarkan untuk mengisi kebingungan saya, dan dia yang memikirkan proposal skripsi kami yang tidak selesai. Saya bercerita bagaimana keberagaman ajaran dalam islam, sedang ia bercerita bagaimana perpecahan dalam kristen.

Beberapa buku yang kami baca lantas menjadi landasan atas setiap perbedaan yang kami tuturkan. Jika ia percaya bahwa Isa Almasih adalah Tuhannya, maka saya percaya Isa adalah Nabi yang akan turun pada akhir jaman untuk memberitahu kebenaran.

Perbincangan kami alot, sampai menentukan titik mana yang harus kami percaya. Saya percaya 100 persen dengan agama yang saya genggam. Sebab bukan karena saya lahir dari ajarannya. Melainkan saya pahami lebih dalam dan percaya bahwa agama saya yang paling benar. Sama dengan Tassya, yang menganggap bahwa agamanya yang paling benar dan saya adalah domba yang hilang dari jalan kebenaran.

Maka saya mengatakan dia adalah kafir, dan dia mengatakan saya adalah kafir. Tapi kami bersahabat dan sangat dekat. Dia sering sekali menanyakan apa saya sudah shalat. Dan saya sering menyemangatinya untuk beribadah di gereja. Dua perbedaan ini lantas menjadi perbincangan yang ekstrem ketika  saya menanyakan satu pertanyaan berat.




“Jika kamu yakin dengan Yesus, dan aku yakin dengan Allah. Berani tidak bersumpah mengatasnamakan agama siapa yang paling benar. Konsekuensinya salah satu dari kita akan menerima laknat” hening. Saya biarkan dia berpikir sejenak. “Tidak. Saya  tidak akan bersumpah bahwa agama saya paling benar dan kamu akan dilaknat Tuhan. Sebab dalam agama saya sumpah atas nama apapun tidak diperbolehkan” diam sejenak. Saya setuju.

“Agama dan Tuhan adalah mengenai kepercayaan diri masing-masing manusia. lantas kita tidak berhak untuk menuntutnya sesuai dengan apa yang kita percaya. Jadi saya tidak akan menerima apapun sumpah walaupun demi membela Tuhan saya” lanjutnya.

Saya sangat setuju. “Agama dan Tuhan adalah tentang bagaimana keimanan seseorang. Dan itu hanya diketahui oleh dirinya masing-masing.. sehingga tidak berhak ada tuntutan untuk mencari tahu siapa yang paling benar. Bukan karena saya tidak yakin dengan agama danTuhan saya. Sebab saya terlalu yakin, maka saya meyakininya hanya untuk diri saya. Bukan untuk diumbar kepada orang lain” begitu penjelasan saya.

“Dan saya yakin, bahwa Tuhan memang menciptakan keberagaman ini dengan jalannya. Agar manusia mencari, bukan bertikai antar perbedaan tersebut” lanjut saya.
Kesepakatan gila diatas tadi memang tidak benar-benar saya akan lakukan. Sebab perbincangan alot kami dari pagi mengenai keberagaman agama di Indonesia yang tidak bisa menyatu menjadi pluralisasi. Sehingga iseng saya menanyakan hal tersebut, dan menjadikan saya menuliskannya disini.

Kita lihat, bagaimana orang berbondong-bondong melanat. Membenci, menghina dan bahkan tidak sama sekali berkomunikasi pada golongan yang tidak sejenis dalam etnis dan agamanya. Kita melihat, di Indonesia sendiri bagaimana masyarakat sibuk berbondong-bondong meneriakan bahwa 
agamanya yang paling benar dan memukuli agama lainnya.


Sebab bagi saya dan Tassya, agama adalah keyakinan diri. Dan Tuhan adalah tentang keimanan kita kepada yang diatas. Bukan pertentangan yang dijadikan sebagai identitas perbedaan. Seharusnya, tidak perlu ada benteng tinggi antar komunikasi etnis satu dengan lainnya. Sayang, bangsa kita terlalu kolot untuk megakuinya. 

Tuesday, July 7, 2015

Ajang reuni, ajang eksistensi diri




Saya akan berlanjut pada tulisan saya sebelumnya. Karena jika dijadikan satu tulisan, mungkin tulisan saya akan sangat membosankan dan berbelit-belit dimata kawan-kawan.

Datang diajang reuni adalah keadaaan yang membingungkan bagi beberapa orang. Bertemu teman lama yang bahkan sudah tidak pernah saling komunikasi pasti menimbulkan sedikit kecanggungan.

Panjang lebar, setidaknya acara reuni itu diberlangsungkan. Maka banyak yang mulai memamerkan jati dirinya. Percayalah, kalian seperti itu, saya juga.

Baru saja pulang dari acara sebuah reuni kecil kawan lama. Benar memang ini kawan lama karena mereka adalah sekumpulan orang sejak saya di sekolah dasar. Banyak dari mereka yang saya baru bertemu lebih dari 8 tahun lamanya.

Mengingat kejadian tadi, saya masih cekikikan tertawa lugu. Ajang reuni itu tempat memamerkan diri. Mengeksiskan diri dan memperkenalkan siapakah kita sebenarnya. Si “A” yang tergolong pendiam,  sontak jadi pecicilan karena ingin dikenal. Si “B” yang sebelumnya pecicilan, menjadi pendiam karena perubahan dalam hidupnya.

Reuni adalah tempat bagaimana dirimu dikenang. Jika si “A” dikenal sebagai bodoh, maka dia akan datang dengan memamerkan betapa dirinya saat ini sangat pintar. Jika si “B” dikenal sebagai sosok yang nakal, percayalah dia akan datang dengan mengenalkan dirinya yang saat ini menjadi sosok yang baik untuk semua orang.

Ajang reuni adalah upaya uuntuk mempertontonkan siapa kita, lalu dihiperbolakan dengan sikap dan ucapan. Beberapa orang memamerkan betapa kehidupannya sangat baik, betapa bisnisnya melejit dan betapa pasangannya sangat cantik.

Tapi mereka lupa, bagaimana mereka dahulu dikenang. Dan itu merupakan bahan gojlokan untuk ditertawakan.

“Dulu elo yang pipis dicelana pas gue labrak di kelas itu kan?”

“Ih lo itu yang dulu suka makan tai dari tanah kan? Masih suka makan lo ampe sekarang?”

“Lo si Fulan... Fulan yang dulu kalo jalan ingusnya meler meler gak pernah di lap itu kan?”

Percayalah semua orang akan tertawa. Dan candaan ini dilepaskan oleh si “Raja” yang dulu sangat eksis di sekolah.

Semua orang pasti penasaran bagaimana dirinya dahulu dikenang. Lalu ia patahkan kenangannya tersebut dengan jati dirinya yang sekarang. Ia pamerkan tentang apa yang ia capai, dan ia lantangkan bagaimana bahagianya ia sekarang.

Ah... ternyata reuni itu penting kawan. Untuk meyakinkan diri kita sendiri tentang bagaimana kita dihadapan orang. Bagaimana diri ini dikenang dan lalu apakah sudah ada perubahan.

“Gak berubah ya lo dari dulu, tengil tengil aja gaya lo..”

“Gak berubah ya lo.. masih begini begini aja..”

Mungkin itu karena kalian tidak memamerkan diri kalian seperti apa kepada mereka. Atau karena memang dalam hidup kalian tidak terjadi sama sekali perubahan. Maka dari itu datang ke reuni itu penting, kawan. Untuk melihat sejauh apa diri kita ini telah melangkah. Menjadi baik, atau malah lebih buruk.


Meskipun untuk datang ke reuni, sangat deg degan. Bingung jika sudah tidak ada yang mengenal. Atau bahkan takut obrolan kalian diacuhkan.

Tiga kategori bagi mereka yang datang ke reuni




Pulang dari acara reuni, saya lari sedikit terbirit kedalam rumah. Jam memang menunjukan hampir dini hari. Dijalan tadi bahkan sudah tergolong sepi. Saya terbirit birit lari masuk kedalam rumah hingga lupa mengunci pagar. Lalu saya duduk di meja makan dan mengabaikan jaket motor yang masih saya kenakan. “Gue harus nulis malam ini juga! harus malam ini” ujar saya sedikit berlari seraya membuka laptop saya.

Barusan sekali saya telah menghadiri sebuah acara reuni dengan kawan lama. Acara buka bersama sih judulnya, tapi pasti kalian tahu bahwa reuni adalah ajang tentang memperkenalkan diri. Saya senang, bertemu lagi dengan beberapa kawan lama, yang bahkan sudah tahunan sudah tidak pernah bertemu.

Si dia yang ternyata tetanggaan sama saya, di itu yang ternyata kuliahnya di jurusan yang sama dengan sahabat saya, atau rentetan banyak sekali kenyataan bahwa dunia ini teramat sempit.

Jujur saja sebenarnya saya sempat berfikir lima kali untuk menghadiri acara reuni ini. pertama adalah ini merupakan kawan lama saya, yaitu kawan almamater sekolah dasar. Yang notabenenya saya sudah lebih dari delapan tahun sudah tidak bertemu. Apalagi dengan kawan dekat saya yang tiba-tiba tidak jadi datang karena alasan sepele. Duh, pasti mati kutu saya dibuat disana.

Setelah pikir panjang, apa salahnya bagi saya untuk sekedar datang dan bersapa “hi”. Maka saya putuskan untuk datang di waktu yang mepet ke acara inti. Setidaknya ke-kaku-an saya tidak akan berlangsung lama.

Benar saja, dari acara berlangsung hingga ajang foto bersama, saya sedikit tertawa-tertawa melihatnya. Lucu sekali.

Ada tiga golongan yang datang dalam ajang reuni.

Pertama, mereka yang datang dengan niat mengekiskan diri. Biasanya golongan ini dianut oleh mereka yang sebelumnya tidak eksis dan ingin menunjukan eksistensi diri. Mereka mereka ini adalah golongan yang sebelumnya tidak terkenal, lalu bertujuan ingin mengenalkan diri.

Tipe yang kedua adalah, si raja. Mereka yang memang sejak jaman dulu sudah eksis, lalu dipancing untuk menjadi eksis. Padahal mungkin ditempatnya sekarang keeksisannya sudah tergolong biasa saja. Mereka terselamatkan oleh ketenaran mereka masa lampau.

Dan yang terakhir, adalah si “pendatang”. Yang berniat memang hanya ingin datang. Duduk, menikmati acara dan lalu pulang. Si pendatang biasanya duduk kalem dipojokan. Tidak mencolok ingin eksis atau ingin mengeksiskan diri. Jika diajak ngobrol syukur, tidak diajak mainin handphone. Diajak foto ikut-ikut saja, gak ada yang ngajak fotoin kawan-kawannya.

Mungkin hanya ini tipe golongan yang saya amati selama acara tadi. Dan saya tergolong yang pendatang. Hehe.


Ingat, raja memang selamanya akan menjadi raja. Tapi kadang, kuda bertindak bisa menjadikan dirinya seperti seorang raja dan lalu membungkamnya. Pion ya akan tetap menjadi pion saja. 

Monday, June 29, 2015

Analogi waktu dengan pribadi Manusia




Have you ever had that feeling that you’d like to go to whole different place and become a whole different self? Seperti kamu berada di sebuah tempat yang baru, lalu kamu menunjukan identitas barumu. Bagi saya, Surabaya adalah kota asing yang membuat saya terbiasa.

Tapi, sikap saya di Surabaya dan Jakarta tidak semata-mata menjadi sama. Saya pernah beberapakali bertemu dengan kawan jakarta dan bertemu di Surabaya. lalu kita menunjukan dua sikap yang berbeda satu sama lainnya.

Belum lama, saya bertemu dengan salah satu kakak kebanggaan saya. Kak Iman Surahman yang merupakan guru bagi hidup saya. Kami kenal sejak saya di bangku SMA. Lalu tanpa direncanakan saya menghampiri acaranya di Surabaya. ada satu kata yang sampai hari ini masih terkenang.

“Gila lu, sendirian di Surabaya bisa idup?” saya hanya membalas dengan cengengesan. Dia seorang pendongeng yang wajahnya sudah tidak asing di dunia pertelevisian. Sayang, waktu itu saya tidak sempat berfoto. Kami hanya berbagi kisah tentang saya disini dan dia disana. kami menjadi dua orang yang berbeda saat sebelumnya di Jakarta. Kami menjadi pribadi yang harus saling membagakan tentang identitas diri kami masing-masing. Walaupun, dia sudah paham seperti apa saya.

Lalu tidak lama saya bertemu lagi dengan guru saya. Guru menulis saya. Pak Iqbal Setyarso atau yang akrab saya panggil Pak Iq  (walaupun beberapakali dia meminta saya memanggilnya Kak Iq, haha). kami bertemu di salah satu agenda untuk membahas tentang situasi sosial Rohingya. Di sebuah resto di hotel Surabaya kami berbicara banyak hal. Dan yang saya tahu, diri saya berbicara jauh berbeda dengan ketika saya bertemu beliau di Jakarta. Saya lebih berani banyak bicara dan menyangkal beberapa pemikirannya.

Yang menarik, setelah kami berbincang saya berjanji menemaninya memenuhi undangan di salah satu televisi swasta Indonesia. Beliau yang menjadi tamu undangan butuh dampingan katanya. Akhirya saya mengikuti permintaannya. Yang bikin saya tercengang adalah acara tersebut merupakan pentas panggung para artis musik Indoneisa. Sosok seperti Slank, Kotak, CJR dan lain sbeagainya.

Coba bayangkan saya harus menonton sebuah konser musik bersama dengan bapak yang berusia seperti Ayah saya. Matilah saya disitu. Saya ingin berjingkrak waktu Petra Sihombing menyanyikan lagu yang paling saya suka. Saya ingin mengangkat tangan ke atas ketika Kotak berhasil menyanyikan lagunya  dengan sempurna. Tapi itu semua sia sia. Saya menjadi identitas yang saya harus tutupi kewajarannya. Saya harus tetap tenang duduk disebelahnya yang hanya diam memperhatikan panggung.

Hingga sampai penghujung acara, ada satu band yang belum tampil. Namun waktu sudah sangat larut. Saya tahu beliau sangat lelah. Sehingga saya pancing untuk mengajaknya pulang. lalu yang beliau lakukan adalah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Tunggu Slank dulu, saya slankers” saya kaget dengan ditutupi tawa pelahan.

Benar sampai Slank muncul, beliau yang sejak tadi hanya duduk tenang mulai berdiri. Bahkan mengeluarkan slayer yang terlihat lusuh. Ia angkat tangannya mengikuti irama. Saya ikut berdiri menemaninya menyuarakan kata “Slank... Kaka!!!”

Sampai lagu terakhir, “Terlalu Manis” yang dibawakan dengan sangat indah. Ia bernyanyi dengan lantang. Bahkan sedikit berjingkrak. Saya mengikutinya. Walaupun tidak seberani lepas jika saya bersama kawan saya lainnya.

“Terlalu manis... untuk dilupakan.. kenangan yang indah bersamamu...” suaranya nyaring.

Demi Tuhan ini pertama kalinya saya melihat Pak Iq bernyanyi dengan sedikit berjoget.
Biasanya saya hanya melihatnya di balik meja dengan laptop dan kertas tulisan saya yang sudah banyak digarisi tanda merah.

“Tulisanmu masih kurang”
“Inti tulisannya mana??”
“Coba pake perspektif sosial, bedah secara umum. Ini terlalu ringan buat jadi tulisan”
“Duh tulisanmu sampah”
“Bulan ini tulisanmu gak masuk majalah”
“Belajar nulis lagi! Banyakin baca”

Kata kata itulah yang tidak asing ditelinga saya. Dulu ketika saya SMA.


Sekarang, melihatnya dengan pribadi yang berbeda dari sosok Pak Iq saya hanya bisa tersenyum panjang. Ah benar memang analogi waktu dengan pribadi manusia Bahwa semuanya tidak akan menjadi sama. Waktu membuat kita menjadi dewasa, sedang tepat mmebentuk kita menjadi siapa.

Karena kenangan tidak bisa diulang, maka menulis adalah cara mengabadikannya.



Baik sebelumnya gue ingin membesihkan sarang laba laba di blog ini. it’s been a long time. Rasanya gue seperti mulai acuh sama blog ini. padahal dia adalah jati diri gue. Tempat yang paling bisa ngerti siapa gue. Oke baik sebelum ini semakin menjadi curhatan yang tidak penting.

Ada banyak sekali cerita yang ingin gue sampaikan, namun sayang, kalian pastinya akan sangan bosan. Pertama, kenapa gue jarang nulis di blog ini adalah karena waktu gue sudah mulai padat. Gue mulai punya beberapa job deadline nulis. Setiap hari tiga berita di media online tempat gue bekerja (btw gue udah jadi pegawai tetap yeay!), kedua, gue sekarang nulis di artikel dengan deadline setiap minggu kejar target beberapa artikel di sebuah web. Dan yang ke empat, gue mulai sibuk sama kuliah gue. Oke yang ini alasan terlalu klasik.

Gue sampe lupa kalo gue punya blog. Tempat gue belajar banyak perihal tentang menulis. Tempat gue, bahkan, bisa bekerja di the real office. Tempat gue bisa dikenal sama lebih banyak orang. Maka dari itu, blog ini merupakan identitas diri gue. Hal-hal yang tidak bisa gue tunjukan secara nyata didepan mata secara langsung.

Blog ini adalah hati gue, tentang apa yang gue rasakan. Tentang apa yang terlalu lama gue fikirkan. Tentang apa yang pernah gue lewatinya.

Karena ini adalah identitas, maka tidak sepatutnya gue tinggalkan begitu saja. Menemukan dunia baru dan lalu lupa sama siapa gue yang dulu.

Gue mulai mencoba untuk akan lebih rutin mengisi tulisan di blog ini. semoga gue bisa membagi waktu dengan prioritas utama.

Sebaik baiknya perjalanan jauh adalah kembali pulang. dan blog ini adalah rumah gue.


Saturday, May 2, 2015

Madura, Sejumput asa untuk mencapai cita-cita





Ditengah rintik-rintik hujan yang turun, saya menyantap dua gorengan hangat yang disajikan pemilik warung. Saat itu tidak terlalu dingin, tapi hujan setidaknya membuat cuaca tidak sepanas yang orang banyak bilang. Saya sedang di Madura. Sebuah pulau yang terletak di timur Jawa. Menikmati gorengan ketiga, hujan semakin besar. Saat itu saya bersama beberapa kawan untuk menyambangi  tempat wisata yang terletak di sebrang pulau. Karena masih harus berangkat besok subuh, kami mencari penginapan dengan budget yang sangat murah.

Sambil menikmati hujan dan mencari penginapan tersebut, kami menikmati gorengan yang dijual warkop persis di sudut pelabuhan Kali Anget. Wajah ibu penjual sangat jutek seperti menahan amarah. Beberapakali kawan yang bertanya dijawab dengan singkat dan seadanya. Memang kami datang secara ramai-ramai dan berisik banyak cerita dan tawa. Saya rasa dia terganggu dengan kedatangan kami. “ibu ini gak seneng kita beli gorengannya ya?” saya berbisik pada kawan di sebelah. “bukan bego, emang orang Madura mukanya gitu semua, sensi” setelahnya saya hanya membalas kalimat oh. Berarti saya harus bersiap pada jam-jam berikutnya akan bertemu dengan wajah serupa dari penjual gorengan ini. wajahnya seperti ketika kalian menumpang dikamar mandi orang yang sedang menahan pipis. Bete jutek pengen ngebacok gimana gitu.

Tidak tahan melihat sinisnya penjual gorengan ini, saya berteduh dengan mencari tempat lain. Walaupun tidak ada bangku, setidaknya atap toko yang tutup itu membuat saya aman dari kebasahan. Saya memandangi jalan yang basah oleh air hujan. Menatap beberapa kendaraan yang lewat membuat kubangan air terciprat. Tidak menyangka, saya berada di ujung kota Madura. Berjarak ratusan kilometer dan harus di tempuh 5 jam dari Surabaya.

Sahabat saya di sebelah juga menatap jalan, sibuk dengan fikirannya yang entah itu apa. Lalu timbul satu pertanyaan dari mulut saya “ming, Madura gede banget ya ternyata. Tapi kenapa orang Madura tersebar di kota lain dan bahkan menguasai daerah itu” saya bertanya. Sedikit jeda. Saya biarkan fikiran kita bermain mencaari jawabannya. Lalu dia menjawab “orang Madura itu kayak orang China bib, etos kerja mereka tinggi. Artinya mereka punya keinginan kerja keras untuk mencapai kesuksesan mereka. Dan ketika mereka tidak menemukan itu di kota mereka, lalu mereka hijrah ke kota lain buat cari kesuksesannya” dia  menjawab. Got it, bener apa yang dikatakannya.

Seribu persen saya setuju dengan yang dikatakan sahabat saya itu. Orang Madura memiliki keinginan yang sangat besar untuk mencapai kesuksesan mereka. Dan di kota mereka sendiri mungkin bukan ladangnya. Sehingga mereka berpindah ke kota lain untuk mencari peluang kesuksesan.

Pernah ke tanah abang? Saya pernah. Kalau tidak salah di pinggiran luar blok F ada sederet pedagang beberapa macam jenis makanan.  Kebetulan waktu itu saya sangat kelaparan dan ingin makan makanan yang pas. Sudah lama di Suabaya dan  peluang ke Jakarta hanya ketika liburan, saya rasa beli makanan yang khas Jakarta tidak ada salahnya. Saya pilih soto Betawi sebagai pemadam kelaparan saya siang itu. Ditengah menikmati suapan soto Betawi tersebut, pedagang soto yang saya beli itu berbincang dengan pedagang nasi padang di sebelahnya. Saya sedikit tersedak mendengar pembicaraan mereka. Memang, saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, sama sekali tidak tahu. Yang saya kagetkan adalah logat yang mereka pake adalah Madura. Saya tahu logat tersebut karena ada kawan saya yang orang Madura. Ini Jakarta loh ya, Jakarta apa segitu kekurangan orang Betawi kah sampai penjual soto betawi harus orang Madura. Pedagang nasi padang di sebelahnya juga, tidak jauh ada pedagang mie ayam Jakarta yang diajak berbicara dengan logat yang sama.

Yang membuat saya berfikir saat itu adalah kenapa mereka tidak mengharumkan nama kota mereka sendiri, ketimbang menjual nama kota yang menjadi tempat mereka menumpang. Soto Madura bahkan tidak kalah enak dengan soto Betawi. Nasi Madura pula menikmati kenikmatan yang sama dengan Nasi Padang.

Tidak hanya di Jakarta, saya kerap menemui beberapa daerah yang  terdapat sekumpulan orang Madura. Menetap disana dan berpenghasilan dengan jumlah yang lumayan.

Obrolan ditengah gerimis itu saya lanjutkan ketika menyantap makan malam di salah satu warung pelabuhan. Saat itu saya bertanya pada kawan lain mengenai apa yang saya fikirkan. Dia menjawab hal yang hampir serupa dengan sahabat saya ini. “Gila ya Madura tuh ternyata gede buanget, tapi yang gue liat selama perjalanan kosong di beberapa lahan. Artinya rumah disini masih sedikit dibanding lahan-lahan kosong seperti hutan, sawah atau tambak. Kenapa mereka gak bangkitin kota mereka sendiri dan malah hijrah ke kota lain”

Kami memang belum melakukan penelitian tentang apa yang kami dapatkan melihat pulau diatas timur Jawa ini. Tapi setidaknya obrolan saya itu membuahkan semangat dalam diri saya. Bahwa hidup bukan tentang berpangku pada tempat kelahiran. Terkadang kita butuh hijrah ke kota lain untuk mendapat apa yang kita citakan. Sama seperti Madura, yang merasa bahwa kotanya tidak akan membuat kemajuan. Bukan berarti hanya diam dan meratap pada nasib hidup. Setidaknya kita harus menentukan pilihan untuk keluar, hingga mendapatkan apa yang kita inginkan dan lalu tidak lupa untuk pulang.

Surabaya-Madura; Penumpang angkutan sapi itu bernama Manusia






Bulan lalu, saya diajak dalam perjalanan para kawan kuliah untuk menjelajah alam. Lokasi wisata yang dikunjungi adalah pulau di ujunga Madura. Jujur saja, dulu sekali telinga saya terlalu sensitif mendengar kata Madura. Mendengar konflik yang terjadi di Sampang atau Sampit melibatkan kota ataupun masyarakat  Madura dengan munculnya konflik kekerasan. Sehingga fikiran saya kerap melabel bahwa betapa menyeramkannya orang Madura.

Berangkat dengan kawan kuliah dan disupiri sahabat saya, perjalanan yang kami tempuh bahkan sampai lebih dari lima jam. Lokasi yang akan kami tempuh berada di ujung pulau Madura, dan bahkan harus menyebrang pulau dengan menyewa kapal. Tiba di pelabuhan Kali Anget persis ketika adzan maghrib berkumandang, saya dibuat menakjubkan dengan banyak realitas yang saya dapat dari jalanan. Saya melihat ada sebuah mobil pick up, di dalamnya teradapat 4 ekor sapi. Yang membuat saya semakin tercengang adalah diantara sela-sela sapi diikat, ada segerombol manusia turut menumpang pick up tersebut. Sayang saya tidak sempat mengambil gambar, saya hanya menatapnya lama sangat dalam. Bahkan sahabat saya ini kehilangan keseimbangan,  ia mengaku konsentrasinya terganggu melihat mobil di depannya itu. Saya diam sesaat, saya perkira ada belasan orang yang menumpang di sana. Ditumpukan rumput makanan sapi dan kotoran yang dikeluarkan selama perjalanan. Mereka berdesakan. Bahkan ada beberapa yang persis berada di pantat sapi. Tuhan, saya bayangkan betapa merananya menjadi mereka. Tapi saya melihat mereka enjoy dengan perjalanannya, bahkan mereka mengobrol dan tertawa antar sesama penumpang lainnya.

Sampai di pelabuhan dengan keadaan gerimis. Kami menepi di salah satu warung kopi pelabuhan. Dengan asupan gorengan hangat, saya menikmati hujan dan menatap ke jalanan. Sampai ada satu pick up yang tadi mengangkut orang dengan sapi itu lewat, saya meringis dalam hati. Mungkin mereka ingin menumpang ke pelabuhan untuk menyebrang untuk pulang ke pulaunya masing-masing. Duduk dengan mengunyah tahu goreng isi, sahabat saya menyenggol memberi isyarat saya harus melihat apa yang dilihatnya. Sebuah pick up lewat lagi, persis seperti tadi. 4 ekor sapi dengan tumpukan penumpang manusia, yang ini lebih banyak saya perkirakan hampir 20 orang. Bahkan beberapa ada yang menggandol di belakang.

Tidak hanya soal pick up pengangkut sapi yang ditumpangi manusia. Dalam perjalanan, saya juga melihat sebuah bis yang berhenti di tengah jalan semaunya. Saya tahu memang sudah biasa para supir angkutan umum berhenti di tengah jalan tanpa perasaan menganggu pengguna jalan lainnya. Tapi bus ini benar-benar ditengah jalan, tidak berusaha untuk menepi padahal masih ada celah banyak. Yang lucu, pengguna jalan di belakangnya tidak ada yang mengklakson memberi tanda bahwa itu mengganggu perjalanannya. Mereka dengan santai menyalip bis tersebut jika mendapat celah dari arah berlawanan. Dan ini terjadi secara berulang. Saya geleng kepala bukan main. “sudah supir bis, madura pula!” ujar saya pelan.

Friday, April 24, 2015

Karena mimpi berhak untuk kamu ceritakan





Dulu sekali, sebelum aku hadir di kota antah berantah ini, aku pernah bermimpi. Aku pernah berandai terlalu tinggi sampai rasanya sulit untuk kugapai. Aku pernah berdoa setiap malam untuk melantunkan apa yangaku cita-citakan.

Dulu sekali, sebelum aku ada dikota Surabaya. Setiap malam kulantunkan doa dalam hati, untuk berbisik pada Tuhan agar segera mendatangkan yang aku kerap selalu harapkan. Aku berdoa diam-diam, lama sekali sampai jenuh aku dibuat untuk mendoakannya dalam sujud terakhir. Tapi sayang, Tuhan saja tidak pernah bosan tentang kesalahan kita yang selalu berulang. Pantaskah kita, manusia, jenuh untuk meminta apa yang dia punya.

Sampai aku mulai berani untuk bercerita. Kepada semua orang, aku ceritakan mimpiku akan seperti apa. Aku bercerita saja khalayak itu akan menjadi nyata. Padahal mungkin beberapa dari mereka mengumpat dan menganggap obrolanku adalah sia-sia. Aku bercerita, tentang mimpiku untuk segera menulis buku. Aduhai, sayang, tulisanku saat itu saja masih tidak memiliki konteks SPOK. Mimpiku terlampau jauh untuk menciptakan sebuah buku. Aku ceritakan kepada semua orang tanpa rasa malu. 

Tidak, aku tidak menggunakan speaker masjid dan memberi pengumuman. Aku hanya menuliskannya dalam status media sosial yang semua orang bisa baca. Saat memposting mimpiku itu, jujur saja hatiku dagdigdug kacau dibuat. Beberapa orang mulai memberi acungan jempol dengan tanda like. Ah... batinku mereka pasti mencemooh mimpiku ini terlalu tinggi.

Kutinggalkan mimpiku, membiarkanya sampai hari berganti waktu. Pada masa yang sangat lama, jarak antar aku memposting tulisan tersebut. Lalu tiba-tiba bertemu kawan lama yang kebetulan satu gerbong kereta. “hai..” sapanya hangat. Tanpa bertanya kabar, ia menanyakan satu kalimat yang membuat aku tercengang. “gimana, bukunya udah jadi?” aku diam. Bungkam. Kebingungan. “aku baca status facebook mu tahun lalu. Aku mau dong jadi yang pertama baca” lanjutnya menjelaskan. Mulutku masih menganga. Tuhan, kaki ini tiba-tiba lemas dibuatnya. Aku jawab dengan senyuman termanis yang pernah ada. Otakku masih memutar mencari jawaban yang paling tepat. Tapi sayang, sebelum sempat membuka mulut untuk menjawabnya, pintu kereta terbuka lebar untuk penurunan penumpang. Dan kawanku ini bagian dari penumpang yang turun di stasiun podok cina.

Status Facebook satu tahun itu membuat aku benar-benar berfikir sepanjang jalan. Bahkan saat sampai rumah, tidak ada satupun yang aku sapa. Panggilan ibuku untuk segera makan aku acuhkan. Ada yang lebih penting ketimbang memikirkan perut. Ada yang lebih penting.
Aku buka laptopku, kubuka folder lama dan.. Tuhan. Datanya masih ada jelas disana. Bagaimana ketika aku mencita-citakan untuk menulisnya satu tahun yang lalu. Namun aku tinggalkan begitu saja tanpa pernah menolehnya.

Itu kenapa kamu butuh menceritakan mimpimu pada semua orang. Tidak memendamnya dalam diam. Jika ada yang mencemooh, biarkan. Tunjukan cemoohannya menjadi omong kosong di masa depan. Kamu tidak akan tahu siapa yang mengamini mimpimu diam-diam. Kamu tidak akan tahu tentang kawanmu yang mendoakan mimpimu segera tercapai dalam doanya kepada Tuhan. Dan suatu hari, ketika kamu kehilangan semangat dalam perjalananmu mencapai mimpimu, Beberapa kawan lama akan bertanya, mendukungmu  dan mendorongmu untuk mencapainya kesana.

Percayalah sayang, hidup ini bukan tentang mengumpat dibalik diri sendiri. Ini tentang hidup, yang seharusnya kita ceritakan pada banyak orang. Sampai saat ini, bukuku itu memang tidak ada yang menerbitkan. Aku hanya menulisnya dengan tamat selesai. Tapi setidaknya aku telah menyempurnakan mimpiku 5 tahun lalu. Dan, tugasku adalah memulai mimpi baru. Menceritakan kepada orang lain agar mereka mengamininya dalam hati. Karena yang aku lakukan pada mereka yang menceritakan mimpinya padaku adalah mengamininya dan mendoakan mereka diam-diam.