Friday, April 24, 2015

Karena mimpi berhak untuk kamu ceritakan





Dulu sekali, sebelum aku hadir di kota antah berantah ini, aku pernah bermimpi. Aku pernah berandai terlalu tinggi sampai rasanya sulit untuk kugapai. Aku pernah berdoa setiap malam untuk melantunkan apa yangaku cita-citakan.

Dulu sekali, sebelum aku ada dikota Surabaya. Setiap malam kulantunkan doa dalam hati, untuk berbisik pada Tuhan agar segera mendatangkan yang aku kerap selalu harapkan. Aku berdoa diam-diam, lama sekali sampai jenuh aku dibuat untuk mendoakannya dalam sujud terakhir. Tapi sayang, Tuhan saja tidak pernah bosan tentang kesalahan kita yang selalu berulang. Pantaskah kita, manusia, jenuh untuk meminta apa yang dia punya.

Sampai aku mulai berani untuk bercerita. Kepada semua orang, aku ceritakan mimpiku akan seperti apa. Aku bercerita saja khalayak itu akan menjadi nyata. Padahal mungkin beberapa dari mereka mengumpat dan menganggap obrolanku adalah sia-sia. Aku bercerita, tentang mimpiku untuk segera menulis buku. Aduhai, sayang, tulisanku saat itu saja masih tidak memiliki konteks SPOK. Mimpiku terlampau jauh untuk menciptakan sebuah buku. Aku ceritakan kepada semua orang tanpa rasa malu. 

Tidak, aku tidak menggunakan speaker masjid dan memberi pengumuman. Aku hanya menuliskannya dalam status media sosial yang semua orang bisa baca. Saat memposting mimpiku itu, jujur saja hatiku dagdigdug kacau dibuat. Beberapa orang mulai memberi acungan jempol dengan tanda like. Ah... batinku mereka pasti mencemooh mimpiku ini terlalu tinggi.

Kutinggalkan mimpiku, membiarkanya sampai hari berganti waktu. Pada masa yang sangat lama, jarak antar aku memposting tulisan tersebut. Lalu tiba-tiba bertemu kawan lama yang kebetulan satu gerbong kereta. “hai..” sapanya hangat. Tanpa bertanya kabar, ia menanyakan satu kalimat yang membuat aku tercengang. “gimana, bukunya udah jadi?” aku diam. Bungkam. Kebingungan. “aku baca status facebook mu tahun lalu. Aku mau dong jadi yang pertama baca” lanjutnya menjelaskan. Mulutku masih menganga. Tuhan, kaki ini tiba-tiba lemas dibuatnya. Aku jawab dengan senyuman termanis yang pernah ada. Otakku masih memutar mencari jawaban yang paling tepat. Tapi sayang, sebelum sempat membuka mulut untuk menjawabnya, pintu kereta terbuka lebar untuk penurunan penumpang. Dan kawanku ini bagian dari penumpang yang turun di stasiun podok cina.

Status Facebook satu tahun itu membuat aku benar-benar berfikir sepanjang jalan. Bahkan saat sampai rumah, tidak ada satupun yang aku sapa. Panggilan ibuku untuk segera makan aku acuhkan. Ada yang lebih penting ketimbang memikirkan perut. Ada yang lebih penting.
Aku buka laptopku, kubuka folder lama dan.. Tuhan. Datanya masih ada jelas disana. Bagaimana ketika aku mencita-citakan untuk menulisnya satu tahun yang lalu. Namun aku tinggalkan begitu saja tanpa pernah menolehnya.

Itu kenapa kamu butuh menceritakan mimpimu pada semua orang. Tidak memendamnya dalam diam. Jika ada yang mencemooh, biarkan. Tunjukan cemoohannya menjadi omong kosong di masa depan. Kamu tidak akan tahu siapa yang mengamini mimpimu diam-diam. Kamu tidak akan tahu tentang kawanmu yang mendoakan mimpimu segera tercapai dalam doanya kepada Tuhan. Dan suatu hari, ketika kamu kehilangan semangat dalam perjalananmu mencapai mimpimu, Beberapa kawan lama akan bertanya, mendukungmu  dan mendorongmu untuk mencapainya kesana.

Percayalah sayang, hidup ini bukan tentang mengumpat dibalik diri sendiri. Ini tentang hidup, yang seharusnya kita ceritakan pada banyak orang. Sampai saat ini, bukuku itu memang tidak ada yang menerbitkan. Aku hanya menulisnya dengan tamat selesai. Tapi setidaknya aku telah menyempurnakan mimpiku 5 tahun lalu. Dan, tugasku adalah memulai mimpi baru. Menceritakan kepada orang lain agar mereka mengamininya dalam hati. Karena yang aku lakukan pada mereka yang menceritakan mimpinya padaku adalah mengamininya dan mendoakan mereka diam-diam.

Thursday, April 16, 2015

Anak kosan dan selembar duapuluh ribuan




Hidup bagi anak rantau dibalik dinding kamar 3x3 memang tidak selalu menynenangkan. Uang jajan yang dikirim setiap bulan menjadi alat untuk mempertahankan kebebasan. Anak kosan, berfikir untuk bagaimana caranya makan, mencari hiburan dan biaya internetan. Anak kosan, memutar balikan otak untuk menafkahi perut hingga akhir bulan dan dapat menyisihkan untuk tabungan jalan-jalan.
Sejak senin kemarin, terhitung sudah empat hari lalu uang di dompet saya sudah tinggal 20 ribu. Saya, yang selalu lupa isi dompet saya tinggal berapa ini memang suka asal dalam memilih makanan. Dan selalu lupa ada berapa uang didompet saya.  Sampai pada senin itu, saya baru sadar bahwa uang saya benar-benar tinggal 20 ribu. Di atm hanya tinggal 28 ribu.

Jika ini terjadi pada awal semester lalu, mungkin saya sudah meringkuk di kosan karena kehabisan uang. Dulu, waktu awal sekali saya menjadi anak kosan, jika di atm menunjukan uang dibawah 200 ribu, saya akan kelabakan dan segera meminta dikirimkan. Semakin kesini, saya semakin belajar.  Bahwa hidup memang tidah perlu sepanik itu, jalani saja nanti juga akan ada indahnya. Tapi uang saya ini memang benar-benar tinggal 20 ribu, dan tidak seindah yang saya gumamkan diawal.

Saya juga tipe orang yang sungkan dalam meminta uang, menagih utang dan meminta pinjaman. Jadi sejak senin itu, saya hanya menelan ludah panjang dan menerimanya dalam-dalam. Untungnya ada sahabat saya yang pernah punya utang dan lalu dia ingat untuk bayar. Tidak banyak, hanya  40 ribu jumlahnya, tapi bagi saya itu seperti piala setelah lari panjang. Sialnya senin itu ban saya bocor, bensin saya habis dan persediaan air dikosan sudah tidak ada. Matilah saya 40 ribu habis untuk kebutuhan itu semua.

Sampai pada hari selasa, uang saya kembali menjadi 20 ribu. Di dompet, hanya ada selembar itu saja. Kembali saya memutar otak. Persediaan mie instan memang masih banyak, tapi Tuhan, perut saya terlalu sayang untuk diberi racun yang akan mematikan.

Saya sebenarnya punya tabungan dengan jumlah yang lumayan di kamar, sayangnya uang itu saya masukan dalam celengan. Bodoh sekali jika saya bongkar celengan itu jikalau saya masih bisa bertahan hingga akhir pekan. Saya urungkan niat untuk membongkar celengan.  Pikir saya, makan apasaja bisa yang penting bertahan hidup.

Untungnya saya masih punya sisa sisa receh yang saya kumpulkan sejak semester awal. Sehingga untuk urusan makan, saya menggunakan recehan itu. Makan seadanya di warung depan gang. Dan asal kalian tahu, tidak ada makanan yang lebih indah dibanding yang saya makan saat itu. Hanya sayur kangkung dengan dua tempe tepung. 5 ribu rupiah saja, Tuhan setidaknya saya masih bisa bertahan sampai malam kan?

Tahu apa yang membuat saya tetap bertahan? Saya ingat sekali perkataan ayah saya saat saya kecil dulu. Saya pernah bertanya, waktu itu keluarga kami sangat kesusahan bisa pegang uang 2 ribu saja saya rasanya sangat bahagia. Jujur saja, bahkan untuk makan ayah saya tidak punya apa-apa. Di meja makan hanya ada nasi bekas semalam. Tidak lama tetangga datang memberi beberapa lauk makanan. Saat itu Cuma ada saya berdua, ayah saya sakit jadi memang sudah tidak bisa bekerja. Saya bertanya  “bi, kenapa ya keluarga kita masih bisa hidup padahal udah gak punya uang” saya ingat sekali waktu itu makanan yang diberikan dari tetangga sayur sop dan beberapa perkedel. Ayah saya tersenyum lebar, lalu diucapkan kalimat yang sampai hari ini saya tanamkan dalam hati saya “bib, setiap manusia itu udah dikasih rezekinya sama Allah. Jadi kalau rizki mereka sudah habis, mereka bakalan mati” saya diam panjang saat itu. “jadi keluarga kita masih punya rizki? Tapi gak punya uang?” ayah saya mengangguk. “kalau rizki abi udah abis, abi bakalan meninggal. Tapi gak mungkin kita meninggal sekeluarga Cuma karena kelaparan. Nih buktinya, tetangga ngasih makan. Umi, abang dan kaka kakak kamu juga diluar cari makanan” saya diam lagi panjang. Saat itu saya hanya mengangguk dan menghabiskan makanan.

Setelah lama dari kejadian itu, dan ayah saya sudah meninggal. Saya tersadar tentang apa yang dikatakannya. Uang itu bukan batasan kekayaan seseorang, tapi sebenarnya rizki yang dia punya.  Jadi saat di dompet saya tinggal 20 ribu, saya tidak akan sepanik dulu saat semester satu. Karena saya ingat, bahwa saya tidak akan mati dengan habisnya uang ini. Saya hanya berdoa, menjalankan apa yang biasanya saya lakukan.

Rabu sore, saat uang saya tinggal 15 ribu, kakak saya tiba-tiba mengontak saya. Jujur saja, saya tidak pernah bilang kalau saya tidak punya uang dan saya minta dikirimi uang selain pada ibu saya sendiri. Walaupun kakak saya semua sudah berpenghasilan, tapi rasanya tetap sungkan. Saya tidak tahu mengapa, tiba tiba saja kakak saya ini berkata “kalo butuh-butuh uang bilang” saya beranikan diri berkata “iya sekarang lagi gak punya uang” Rabu malam itu kakak saya bermaksud untuk mengirim uang kepada saya. Nasib saya, atm yang dicoba berkali-kali itu ternyata tidak bisa.

Pagi ini, saya bangun dengan uang hanya 10 ribu di dompet. Bensin saya habis,  saya harus ke kantor dan melakukan beberapa liputan. Kembali saya bongkar recehan dan makan di warung depan gang. Tidak ada yang lebih indah dari makanan pagi ini. Dan saat ini didompet saya sisa tinggal 2 ribu. Saya hanya tersenyum sepanjang jalan. “lihat bagaimana Allah rencanakan akhir yang indah untuk dompet saya ini”


Tuesday, April 7, 2015

Kota Terkutuk



You know what. Dulu sekali. Sekitar dua tahun lalu, aku melaknat kota ini. Membencinya sampai keubun-ubun. Dulu sekali, dua tahun lalu aku seperti bukan siapa-siapa, tidak memiliki apa-apa. Aku bersumpah untuk meninggalkan kota ini dan menunggunya sampai aku dapat kesempatan mencoba kuliah. Aku pernah merasa diasingkan, dibuang dan tidak didengarkan. Aku pernah merasa sepeti tidak mengerti apa-apa, siapapun dan situasi yang sebenarnya. Aku pernah menangis setiap malam, pulang kerumah dan berjanji untuk tidak akan kembali lagi. Aku pernah, merasa bahwa lebih baik ini semua diakhiri.

Surabaya dulu, dua tahun lalu seperti kota yang membuang aku jauh dari mimpiku. Menangis aku dibuat setiap malam. Kesepian, kehilangan, kebingungan seragam semua menjadi isak tangis setiap malam. Kuliah dan lalu pulang, lalu menangis sepanjang siang dibalik bantal. Dulu sekali, dua tahun lalu rutinitasku hanya begitu. Setiap akhir pekan pulang ke Jakarta, bukan karena kangen bunda. Tapi rumah lebih aman dibanding Surabaya yang bagiku saat itu menyeramkan.

Lalu aku dipertemukan tiga orang. Dalam jumlah memang terlalu sedikit untuk dijadikan kawan. Tapi, setidaknya mereka alasan kenapa aku masih dapat bertahan. Tiga tahun, bayangkan. Tiga tahun aku mengijakan kaki di Surabaya, hidup didalamnya. Setelah dulu, dua tahun lalu aku membenci dan menyerapahi kota ini. Aku melaknat dan berjanji untuk tidak pernah kembali. Tapi tahu? Tiga orang ini yang tanpa mereka tahu telah membawa aku kembali. Memang, alasanku saat itu  mengenai kuliah atau semester yang disayangkan.

Tapi coba bayangkan, jika Tuhan tidak menemukan aku dengan tiga orang ini. Maka, sampai detik ini Surabaya menjadi kota yang masih aku laknati setiap harinya.
Mereka membuat tinggal disini menjadi nyaman. Bahkan, ada salah satu dari mereka yang semakin memperkuat alasan. They do nothing, kalo ada yang tanya apa rumusnya. Karena semua yang mereka lakukan teramat membuat aku nyaman.

Mereka Cuma menunjukan bagaimana caranya hidup di Surabaya. Mereka Cuma menunjukan bagaimana caranya berani bermimpi setelah mimpimu terasa hilang jauh disana. Mereka Cuma menunjukan bagaimana tertawa dan tertawa terus selamanya.

Dan setelah dua tahun. Hari ini, entah mengapa aku merasa Surabaya kota yang baru. Yang didalamya aku tidak tahu. Seperti ingin kembali ke Jakarta. Entah mengapa dengan malam ini. Yang jelas, rasanya seperti kembali pada dua tahun lalu.

Wednesday, April 1, 2015

Untuk kalian yang sedang di perantauan



Untuk kalian, yang sedang berada di perantauan. Aku tahu saat ini kalian tengah dikabung rindu. Jenuh dikosan seharian dan tidak memiliki teman. Tugas yang membuat kalian ingin menangis dipangkuan bunda, atau lelah yang ingin kalian ceritakan kepada ayah. Aku tahu betul rasanya. Duduk diam hanya memandang sekat 3x3 kamar kosan. Diam disana sendirian dan tidak memiliki teman bicara. Line, bbm dan pesan menjadi sangat tidak berguna. Karena yang kamu butuhkan adalah sesosok untuk memberikan pelukan dari gundahnya kuliah.

Untuk kalian, yang jauh diujung jalan dan merasa sendirian. Menangislah saja, sampai isakan itu tidak bersuara. Sembab matamu dipagi hari karena merasa lelah dan ingin segera meninggalkan kuliah. Menangislah untuk sekedar berbicara pada hati kalian. Bahwa hidup ini tidak selamanya tentang berdua, bertiga atau bersama-sama. Adalah kalian yang sendirian dan ditinggalkan kesibukan teman-teman.

Aku tahu kalian malu, terseguk karena tetangga kosanmu. Acuhkan saja, karena mereka hanya bertanya kenapa. Tidak seperti sahabatmu yang paham lalu akan langsung memberikan pelukan. Tidak seperti bundamu yang akan membuat kamu merasa tenang. Tidak seperti ayah yangmenasihatimu untuk kembali bangkit dari keterpurukan.

Aku tahu rasanya, sendirian seperti ditinggalkan. Menghubungi kawan lama tapi hanya sebatas berbalas pesan. Jauh mereka, karena kehadiranmu di kota baru dan hanya memiliki teman duduk satu jurusan. Beruntunglah kamu, yang masih memiliki sahabat. Karena dia satu-satunya sosok yang membuatmu merasa bangkit. Karena dia satu-satunya sosok yang akan mendengarkanmu menangis dan lalu menarikmu keluar melihat tentang apa yang kamu mimpikan sebelumnya.

Untuk kamu, yang sedang merasa kehilangan. Bundamu yang semakin jarang membalas pesan. Saudaramu yang sudah tidak pernah bertanya kabar. Mereka mungkin merasa bahwa kamu baik-baik saja dan tidak ingin menganggu kesibukan. Padahal menangis kamu dibalik bantal karena merasa mulai diacuhkan.

Aku tahu, betul rasanya seperti apa. Menangis saja, seperti aku setiap malam. Orang bilang tentang kita yang terlalu cengeng menghadapi dunia, mereka bilang tentang kita yang terlalu perasa, mereka bilang tentang kita yang berlebihan dalam megambil sikap. Mereka hanya tidak tahu, bagaimana rasanya hidup ditengah-tengah orang baru. Bagaimana rasanya kesusahan dan tidak ada yang membantu. Bagaimana rasanya makan sendirian sedang mereka bersama keluarganya. Mereka Cuma tidak tahu. Maka menangislah, sendirian. Seperti yang aku lakukan.