Monday, June 29, 2015

Analogi waktu dengan pribadi Manusia




Have you ever had that feeling that you’d like to go to whole different place and become a whole different self? Seperti kamu berada di sebuah tempat yang baru, lalu kamu menunjukan identitas barumu. Bagi saya, Surabaya adalah kota asing yang membuat saya terbiasa.

Tapi, sikap saya di Surabaya dan Jakarta tidak semata-mata menjadi sama. Saya pernah beberapakali bertemu dengan kawan jakarta dan bertemu di Surabaya. lalu kita menunjukan dua sikap yang berbeda satu sama lainnya.

Belum lama, saya bertemu dengan salah satu kakak kebanggaan saya. Kak Iman Surahman yang merupakan guru bagi hidup saya. Kami kenal sejak saya di bangku SMA. Lalu tanpa direncanakan saya menghampiri acaranya di Surabaya. ada satu kata yang sampai hari ini masih terkenang.

“Gila lu, sendirian di Surabaya bisa idup?” saya hanya membalas dengan cengengesan. Dia seorang pendongeng yang wajahnya sudah tidak asing di dunia pertelevisian. Sayang, waktu itu saya tidak sempat berfoto. Kami hanya berbagi kisah tentang saya disini dan dia disana. kami menjadi dua orang yang berbeda saat sebelumnya di Jakarta. Kami menjadi pribadi yang harus saling membagakan tentang identitas diri kami masing-masing. Walaupun, dia sudah paham seperti apa saya.

Lalu tidak lama saya bertemu lagi dengan guru saya. Guru menulis saya. Pak Iqbal Setyarso atau yang akrab saya panggil Pak Iq  (walaupun beberapakali dia meminta saya memanggilnya Kak Iq, haha). kami bertemu di salah satu agenda untuk membahas tentang situasi sosial Rohingya. Di sebuah resto di hotel Surabaya kami berbicara banyak hal. Dan yang saya tahu, diri saya berbicara jauh berbeda dengan ketika saya bertemu beliau di Jakarta. Saya lebih berani banyak bicara dan menyangkal beberapa pemikirannya.

Yang menarik, setelah kami berbincang saya berjanji menemaninya memenuhi undangan di salah satu televisi swasta Indonesia. Beliau yang menjadi tamu undangan butuh dampingan katanya. Akhirya saya mengikuti permintaannya. Yang bikin saya tercengang adalah acara tersebut merupakan pentas panggung para artis musik Indoneisa. Sosok seperti Slank, Kotak, CJR dan lain sbeagainya.

Coba bayangkan saya harus menonton sebuah konser musik bersama dengan bapak yang berusia seperti Ayah saya. Matilah saya disitu. Saya ingin berjingkrak waktu Petra Sihombing menyanyikan lagu yang paling saya suka. Saya ingin mengangkat tangan ke atas ketika Kotak berhasil menyanyikan lagunya  dengan sempurna. Tapi itu semua sia sia. Saya menjadi identitas yang saya harus tutupi kewajarannya. Saya harus tetap tenang duduk disebelahnya yang hanya diam memperhatikan panggung.

Hingga sampai penghujung acara, ada satu band yang belum tampil. Namun waktu sudah sangat larut. Saya tahu beliau sangat lelah. Sehingga saya pancing untuk mengajaknya pulang. lalu yang beliau lakukan adalah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Tunggu Slank dulu, saya slankers” saya kaget dengan ditutupi tawa pelahan.

Benar sampai Slank muncul, beliau yang sejak tadi hanya duduk tenang mulai berdiri. Bahkan mengeluarkan slayer yang terlihat lusuh. Ia angkat tangannya mengikuti irama. Saya ikut berdiri menemaninya menyuarakan kata “Slank... Kaka!!!”

Sampai lagu terakhir, “Terlalu Manis” yang dibawakan dengan sangat indah. Ia bernyanyi dengan lantang. Bahkan sedikit berjingkrak. Saya mengikutinya. Walaupun tidak seberani lepas jika saya bersama kawan saya lainnya.

“Terlalu manis... untuk dilupakan.. kenangan yang indah bersamamu...” suaranya nyaring.

Demi Tuhan ini pertama kalinya saya melihat Pak Iq bernyanyi dengan sedikit berjoget.
Biasanya saya hanya melihatnya di balik meja dengan laptop dan kertas tulisan saya yang sudah banyak digarisi tanda merah.

“Tulisanmu masih kurang”
“Inti tulisannya mana??”
“Coba pake perspektif sosial, bedah secara umum. Ini terlalu ringan buat jadi tulisan”
“Duh tulisanmu sampah”
“Bulan ini tulisanmu gak masuk majalah”
“Belajar nulis lagi! Banyakin baca”

Kata kata itulah yang tidak asing ditelinga saya. Dulu ketika saya SMA.


Sekarang, melihatnya dengan pribadi yang berbeda dari sosok Pak Iq saya hanya bisa tersenyum panjang. Ah benar memang analogi waktu dengan pribadi manusia Bahwa semuanya tidak akan menjadi sama. Waktu membuat kita menjadi dewasa, sedang tepat mmebentuk kita menjadi siapa.

Karena kenangan tidak bisa diulang, maka menulis adalah cara mengabadikannya.



Baik sebelumnya gue ingin membesihkan sarang laba laba di blog ini. it’s been a long time. Rasanya gue seperti mulai acuh sama blog ini. padahal dia adalah jati diri gue. Tempat yang paling bisa ngerti siapa gue. Oke baik sebelum ini semakin menjadi curhatan yang tidak penting.

Ada banyak sekali cerita yang ingin gue sampaikan, namun sayang, kalian pastinya akan sangan bosan. Pertama, kenapa gue jarang nulis di blog ini adalah karena waktu gue sudah mulai padat. Gue mulai punya beberapa job deadline nulis. Setiap hari tiga berita di media online tempat gue bekerja (btw gue udah jadi pegawai tetap yeay!), kedua, gue sekarang nulis di artikel dengan deadline setiap minggu kejar target beberapa artikel di sebuah web. Dan yang ke empat, gue mulai sibuk sama kuliah gue. Oke yang ini alasan terlalu klasik.

Gue sampe lupa kalo gue punya blog. Tempat gue belajar banyak perihal tentang menulis. Tempat gue, bahkan, bisa bekerja di the real office. Tempat gue bisa dikenal sama lebih banyak orang. Maka dari itu, blog ini merupakan identitas diri gue. Hal-hal yang tidak bisa gue tunjukan secara nyata didepan mata secara langsung.

Blog ini adalah hati gue, tentang apa yang gue rasakan. Tentang apa yang terlalu lama gue fikirkan. Tentang apa yang pernah gue lewatinya.

Karena ini adalah identitas, maka tidak sepatutnya gue tinggalkan begitu saja. Menemukan dunia baru dan lalu lupa sama siapa gue yang dulu.

Gue mulai mencoba untuk akan lebih rutin mengisi tulisan di blog ini. semoga gue bisa membagi waktu dengan prioritas utama.

Sebaik baiknya perjalanan jauh adalah kembali pulang. dan blog ini adalah rumah gue.