Tuesday, October 29, 2013

Kadang Kita Harus Kehilangan Untuk Tahu


Kadang kita harus kehilangan untuk tahu seberapa berharganya ia dalam hidup kita. Hilang. Bukan  pergi, karena pergi akan selalu kembali walaupun dalam masa-masa panjang yang tidak kita dapat tentukan. Hilang, lenyap pada keadaan yang tidak bias kita kembalikan. Kadang kita harus kehilangan orang yang kita cintai untuk memantaskan cinta kita kepadanya. Dengan kenyataan bahwa dia sudah pergi. Kadang kita harus kehilangan rasa, untuk mendapatkan tahta, kedudukan. Dan kadang kita harus kehilangan yang paling mendalam untuk tahu seperti apa hidup kita.


Gue sering merasa kehilangan. Dari bokap, adek gue sampe hal-hal kecil dihidup gue. Hal paling besar adalah ketika keluarga gue kehilangan bokap. Kita harus kehilangan dia untuk tahu seberapa besar keberadaan dia di keluarga gue. Gue harus kehilangan cinta dia untuk tahu bahwa dia selalu mencintai gue. Dan gue harus kehilangan bahunya, untuk tahu bahwa dia selalu rela mati untuk keselamatan anaknya. Gue harus kehilangan amarahnnya untuk tahu bahwa dia akan selalu jaga gue disetiap lelahnya. Gue harus kehilangan tangisan umpatnya ketika dia bangga anaknya juara, untuk tahu bahwa dia selalu ngasih gue pelajaran yang gak gue dapetin dimanapun. Gue harus kehilangan senyum dia dipagi, untuk tahu bahwa senyum itu senyum termanis buat gue.  Gue harus kehilangan banyak hal, untuk tau bahwa itu semua sangat berarti untuk gue.

Karena setiap ayah adalah cinta pertama anak perempuanya. Dan cinta pertama akan selalu dikenang dalam hidupnya dan dalam cintanya yang lain. Kalo gue dikasih satu masa sama tuhan untuk dipertemukan lagi sama bokap gue dalam satu detik gue akan meluk dia seraya “abi bibah kangen, boleh balik lagi?” dan hati gue akan selalu terikat dengan “gue bangga punya ayah sebaik dia” bangga dari sikapnya, dari pengajaranya dan dari pengalamanya. Kalau bokap gue dikasih satu kesempatan untuk lihat gue sekarang, dia tahu seberapa besar kangen gue sama dia. Dan seraya gue pengen bilang “aku bisa sekuat ini karena abi”


Dan penyesalan terbesar adalah ketika dia belum tahu seberapa besar cinta gue yang diungkapkan. Karena cinta yang tidak pernah diungkapkan adalah kesakitan yang harus dipikul seumur hidup. Untuk cintanya yang paling besar. Untuk perlindunganya yang menghadang kematian dan untuk setiap cucuran kasih dalam keringatnya aku ingin katakan bahwa aku akan selalu mencintai dia dalam cinta-cinta lain yang tidak akan dibelihkan. Untuk tuhanku, ayahku dan orang lain dalam hidupku. Cintaku akan terus begitu kepadamu. Menjadi nomor dua setelah tuhanku.

Wednesday, October 9, 2013

Jangan-Jangan Kita Kembali Pada Masa Pak Harto??




Kemarin gue senyam senyum sendiri liat baju yang bergambar sosok Soeharto senyum, senyum penuh uang sambil ada tulisan “piye kabare ? Enak jamanku to?” ini bukan kali pertama gue liat tulisannya. Udah sering banget dipake lintas masyarakat, walaupun gue lebih sering ngeliat yang pake baju gambar itu 30 tahun keatas. 

Kenapa gue senyam senyum sendiri baru sekarang? Yang pertama adalah gue melihat si pemilik baju tersebut adalah seorang anak dengan umur sekitar sepuluh tahun. Dan, alasan lucunya adalah anak itu aja gak idup dijaman Pak Harto tapi dia mempromosikan bahwa jaman Soeharto itu sangat hebat. Oke opsi kedua adalah anak tersebut pake baju itu karena memang atas perintah orang tuanya, dibelikan dan harus dipergunakan tanpa anak itu tahu makna dari muka pak Harto dan tulisanya tersebut. Mungkin orang tuanya iseng, buat lucu-lucuan anaknya, mungkin itu baju dikasih saudaranya, mungkin orangtuanya adalah bagian dari keturunan pak Harto yang lagi nyamar jalan-jalan di pasar atau kemungkinan lain adalah orangtuanya merupakan bagian dari skandal dibalik pebangunan ekonomi dan hutangnya pak Harto. Oke. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang gak akan selesai kalo dibahas disini tanpa kita tanyakan langsung ke orangnya.

Alasan gue senyam-senyum sendiri adalah begini. Anak-anak seumuran gue dan dibawah gue (tidak hidup dijaman pak Harto), hidup dijaman itu tetapi tidak merasakan dampak baik maupun buruk terhadap keluarganya akan bertanya, apa sih makna dari tulisan “piye enak jamanku to?” emang jaman kayak apa sih pada waktu itu. Kemudian kita akan tanyakan pada orangtua kita yang kebanyakan hanya menceritakan dari segi ekonomi. Sepintas mungkin seperti ini “ya, jaman Soeharto itu bensin harganya masih seribu-an. Kamu bisa beli bakso hanya dengan uang selembaran monyet 500 perak. Serba murah. Bukan Cuma itu, pak Harto juga melakukan beberapa pembangunan untuk Indonesia, seperti jalan tol yang sekarang sudah hampir menguasai seluruh Jakarta, transportasi umum contohnya ya pesawatnya Pak Habibie itu. Nah itu jamanya Pak Harto” gue yakin, siapaun yang denger itu akan bilang “wah enaknya jaman dia” karena kebanyakan orangtua menceritakan hanya dengan sisi ekonominya saja. Segi keuntungan yang terlihat padahal ada banyak kerugian yang terumpat. Ada krisis politik, krisis moneter dan limpahan hutang yang melonjak atas nama pembangunan di jamannya.
Kebanyakan orangtua tidak menceritakan kisah itu, hanya sepintas terhadap perekonomiannya saja. Mungkin mereka tidak mau ingat krisisnya Indonesia atau juga mereka hanya ingin memberikan sedikit gambaran untuk dipahami anaknya.


Dari cerita sepintas yang disampaikan para orangtua, menimbulkan pemikiran-pemikiran iseng dari anak muda “wah kalo gitu, gue balkik aja ke jaman Soeharto, kayaknya gue bakal kaya kalo hidup dijaman itu” dari pemikiran iseng itu terbentuk akhirnya keyakinan. Timbul banyak pertanyaan “lebih baik hidup dijamann pak Harto atau SBY yang carut-marut seperti ini?” mereka mungkin akan menjawab “ya pak Harto lah jelas, makmur jaman itu gue bisa tajir” diambang semua keadaan bahwa demokrasi di Indonesia semakin surut kepercayaanya. Dari sekedar pemikiran iseng itu berubah menjadi keyakinan yang berpijak pada keteguhan lalu sebuah tindakan. Protes-protes para pemuda pada pemerintah tanpa ada alasan jelas, pembidikan calon legislatif dengan turunan anak buah pak Harto, dukungan penuh pada capres yang merupakan keturunan pak Harto. 



Serem ya, jangan-jangan dengan sendirinya dan tanpa kesadaran kita akan kembali pada jaman pak Harto pada jaman kejahatan yang dibungkamkan. Pada jaman realitas yang ditutupi. Kalau masih banyak yang tidak percaya dengan system demokrasi kita sekarang dan “rindu” tanpa pernah dihadirkan dengan kemiliteran pak Harto gue rasa mulai pada miring nih. Coba kalo kita lihat seperti apa lengsernya Seokarno atas nama rakyat, lihat berapa banyak korban demi mati untuk kelengseran Soeharto atas nama ketidakpercayaan rakyat, lalu Habibie naik mimbar dan turun dengan tidak dipilihnya lagi, Gusdur lengser dengan hilangnya kepercayaan rakyat, Megawati yang tidak dipilih kembali dalam pemilu selanjutnya, dan SBY yang berhasil memberikan kepercayaan dua periode demokrasi kepada masyarakat. Dengan seiringnya, kita mulai mempercayai apa itu demokrasi dan system politik di Indonesia, asal jangan bukan dihancurkan demi kepentingan satu golongan. Kita telah lebih nyaman dengan berdemokrasi, tidak kembali pada belasan tahun lalu. Lihat seperti apa kericuhan mesir dengan tuntutan masyarakatnya yang ingin bebas berdemokrasi. Mari, satu langkah lebih maju bukan melihat buntut yang tertinggal.

Dan kami, tidak membenci jasa yang telah Pak Harto berikan, pembangunan di Indonesia secara besar-besaran. Kami hanya tidak suka sistem, cara maupun kebijakan yang digenggam oleh Pak Harto. Yang diam-diam membuat kehancuran tersendiri bagi masyarakat. Sederhananya bagaimana bisa seorang anak lahir tanpa hutang apapun dibebankan dua juta dari hutang pemerintah. serem kan?

Tujuh Belas Tahun diantara Krisis Politik di Indonesia



Tujuh belas tahun.  Setiap orang punya pandangan tersendiri dengan kehadiran angka tersebut di usianya. Kalo kebanyakan orang bilang “yes, akhirnya gue 17 tahun! Gue dewasa!” bukan poin penting berapapun umur lo terhadap kedewasaan, tapi tentang perilaku. “yess, 17 tahun! Gue punya KTP” random juga terhadap lo punya KTP terus lo mau ngapain?  Ada juga yang bersikap dengan  “yah, 17 tahun, gue makin tua. Gak bisa berperilaku kayak anak-anak lagi” hmm..  gue sudah mejalani usia lebih dari 17 tahun dan bahkan sudah dua tahun diatasnya. Harusnya gue seneng karena gue punya KTP dan bisa bebas kata kebanyakan orang. Tapi enggak, gue masih belom punya KTP. Kalo mau sewa tempat harus ajak temen gue yang punya KTP, kalo ada penilangan polisi gue selalu deg-degan setengah mampus karena gue belom punya SIM. Aneh ya, harusnya gue sudah melalui masa kebebasan 17 tahun yang dialami kebanyakan orang. Gue stak sama kekerdilan gue yang tidak punya KTP karena kelurahan gue selalu bilang “belum jadi mbak KTPnya”  padahal gue sudah mengurusnya dua tahun lalu. Sumpah. Gue sendiri bingung kenapa ini bisa terjadi sama gue, padahal semua keluarga gue KTP nya sudah ditangan. Apa iya gue kudu ngasih selembaran soekarno-hatta. Bukan penyelesaian yang baik gue rasa, toh keluarga gue yang lain gak ada kebijakan suruh nyogok juga kok.  Eh, bentar, kebijakan? Barusan gue bilang kebijakan? What the fucking bulshit nyet. Sama sogok-menyogok dibilang kebijakan. Karena emang itu “kebijakan” diliuar aturan. Ah gak tuntas bahasnya. Ada hal lain yang mau gue bahas disini.

Well, anak-anak muda jaman ini mungkin ngerasain situasi yang berat di angka 17 tahunya. Kenapa berat? Oke. Mungkin  gak banyak yang menyadari “situasi berat” yang gue maksud. Karena kita sibuk have fun ngerayain ulang tahun dimana. Sibuk nyoba-nyoba hal yang dulu dilarang orangtua. Sampe kita lupa bahwa ada situasi lain dari kepemilikan KTP ditangan kita. Politik! Yes! No.. no..!! gue bukan mau ngomongin soal politik terselubungnya SBY terhadap partai lain, gue juga bukan mau ngomongin soal MK yang akan dijungkir balikan terhadap tahtanya, apalagi soal capres kita yang.. duh dijawab sendiri aja titik-titiknya.
Sekarang, kalo gue bilang bahwa pemuda Indonesia lagi diambang krisis kepercayaan terhadap politik lo setuju? Atau kalo gue bilang pemuda Indonesia yang mulai melupakan langkah politiknya terhadap kemajuan Indonesia, lo setuju juga gak? Oke mari kita bebicara sedikit lebih serius tentang Indonesia saat ini. Keadaan pemuda ketika mencapai usia 17 tahun tanpa gue berkata bahwa mereka dewasa atau tidaknya tapi dilihat dari kepemilikan KTP nya menandakan bahwa, pemuda punya langkah besar terhadap Indonesia yang harus di tuju. Tapi sayangnya, masa culture shock yang diterima mulai diabaikan. 

Makanya gue bilang bahwa pemuda Indonesia sedang diambang krisis politik. Waktu pemilu makin mendekat, kebanyakan kita anak muda mungkin updae status “Besok nyoblos nih.. pilih siapa eaa” oke gak penting bahasanya yang penting adalah kebanyakan kita mulai merasa bangga ketika akan nusukin paku di lembaran putih itu seraya bilang “gue udah punya peran penting di Indonesia” tapi mau tau gak sih kalo ternyata peran penting bagi fikiran kita itu mungkin ternyata justru jadi sebaliknya, peran yang merusak. Saudara gue, waktu empat tahun lalu berdiri di balik kap abu-abu justru kebingungan setengah mati, dia harus diposisi milih orang yang sama sekali dia gak tau resume calon tersebut. Sampai dia menemukan dititik kematangan, ada salah satu wajah yang dikenal. Yes, kenal dari sinetronya. Doi artis yang nyalon jadi wakil rakyat. Sodara gue senyum bangga dengan bilang “gue gak asal milih coy” “maksudnya?” “ya, setidaknya gue taulah siapa yang gue coblos, doi di sinetronya selalu jadi orang baik yang disakiti” gue nyengar nyengir goblok gatau apa-apa disitu.

Serem ya, kebaikan di sinetron bisa menilai seseorang terhadap kebaikan dirinya kah? Bukan Cuma artis dan kisah sodara gue. Bahkan mungkin banyak dari kita yang memilih dengan menutup mata dan pura-pura lupa. Milih caleg yang senyumnya lebih manis daripada yang lain, memilih dengan cara melihat marga yang sama, memilih dengan siapa muka yang ganteng. Atau jangan-jangan kita yang taruh koruptor itu duduk di kursi Negara, jangan-jangan kita yang naro tukang tidur di kursi pemerintah, kita yang menghendaki dia duduk disana dengan alasan bahwa kita lupa dan kita tidak tahu siapa yang kita pilih saat itu. Lebih parahnya lagi pemuda tidak berkontribusi dalam pemilu dengan alasan bahwa ia belum pantas dan tidak tahu siapa yang akan dipilihnya tapi ikut demo paling kenceng ketika kebobrokan pemerintah mulai nampak. Coba kembali tanyakan pada si tukang bakar pager senayan siapa anggota DPR yang dipilihnya dalam pemilu 2009 lalu. Kebanyan mulai lupa.


Lalu apa yang seharusnya kita perbuat di masa transisi menuju 17 tahun keatas. Lebih jernih sedikit berfikir tentang kepemerintahan dan jangan bertingkah laku seolah-olah kita tidak tahu. Jangan berteriak paling kencang ketika kita idak ikut bersuara dulu. Jangan-jangan kita yang mulai menghancurkan politik Indonesia secara diam-diam dan menyalahkan orang-orang di senayan. Yuk, politik itu bukan sebuah kebusukan, bukan kehancuran dan kebobrokan. Politik harus kita genggam bersama. Biarkan orang bilang bahwa mimpi kita terlalu konyol maupun terlalu sampah untuk dicapai. Setidaknya kita harus baca, cari tahu siapa pemimpin yang akan menyalonkan diri di pilpres berikutnya, siapa caleg yang akan maju di pemilu 2014. Kita harus tahu dengan alasan kia punya kebijakan memilih. Apakah kita mau diambang krisis dengan kebodohan kita sendiri? Diam diambang kericuhan yang perlu disuarakan. Bergerak, untuk merubah setitik dari Indonesia, yang akan menjadi perubahan besar.