“Jika kamu yakin dengan Yesus, dan aku yakin dengan Allah. Berani
tidak bersumpah mengatasnamakan agama siapa yang paling benar” pertanyaan itu
sejenak membuat jeda antar obrolan kita berdua. Saya, dan sahabat saya yang
sejak tadi berbicara panjang tentang agama.
Sebelumnya kenalkan, dia ini Natassya, Kristen asli Batak
yang sudah bertanah air Surabaya. kita sering bertukar pikiran tentang agama
siapa yang paling benar. Dan hasilnya, kita ilhami sendiri sebagai sebuah
kepercayaan.
Sejak pagi, ketika ia tiba di kosan saya beberapa pertanyaan
saya lontarkan untuk mengisi kebingungan saya, dan dia yang memikirkan proposal
skripsi kami yang tidak selesai. Saya bercerita bagaimana keberagaman ajaran
dalam islam, sedang ia bercerita bagaimana perpecahan dalam kristen.
Beberapa buku yang kami baca lantas menjadi landasan atas
setiap perbedaan yang kami tuturkan. Jika ia percaya bahwa Isa Almasih adalah Tuhannya,
maka saya percaya Isa adalah Nabi yang akan turun pada akhir jaman untuk
memberitahu kebenaran.
Perbincangan kami alot, sampai menentukan titik mana yang
harus kami percaya. Saya percaya 100 persen dengan agama yang saya genggam. Sebab
bukan karena saya lahir dari ajarannya. Melainkan saya pahami lebih dalam dan
percaya bahwa agama saya yang paling benar. Sama dengan Tassya, yang menganggap
bahwa agamanya yang paling benar dan saya adalah domba yang hilang dari jalan
kebenaran.
Maka saya mengatakan dia adalah kafir, dan dia mengatakan
saya adalah kafir. Tapi kami bersahabat dan sangat dekat. Dia sering sekali menanyakan
apa saya sudah shalat. Dan saya sering menyemangatinya untuk beribadah di
gereja. Dua perbedaan ini lantas menjadi perbincangan yang ekstrem ketika saya menanyakan satu pertanyaan berat.
“Jika kamu yakin dengan Yesus, dan aku yakin dengan Allah. Berani
tidak bersumpah mengatasnamakan agama siapa yang paling benar. Konsekuensinya salah
satu dari kita akan menerima laknat” hening. Saya biarkan dia berpikir sejenak.
“Tidak. Saya tidak akan bersumpah bahwa
agama saya paling benar dan kamu akan dilaknat Tuhan. Sebab dalam agama saya
sumpah atas nama apapun tidak diperbolehkan” diam sejenak. Saya setuju.
“Agama dan Tuhan adalah mengenai kepercayaan diri
masing-masing manusia. lantas kita tidak berhak untuk menuntutnya sesuai dengan
apa yang kita percaya. Jadi saya tidak akan menerima apapun sumpah walaupun
demi membela Tuhan saya” lanjutnya.
Saya sangat setuju. “Agama dan Tuhan adalah tentang
bagaimana keimanan seseorang. Dan itu hanya diketahui oleh dirinya
masing-masing.. sehingga tidak berhak ada tuntutan untuk mencari tahu siapa
yang paling benar. Bukan karena saya tidak yakin dengan agama danTuhan saya. Sebab
saya terlalu yakin, maka saya meyakininya hanya untuk diri saya. Bukan untuk
diumbar kepada orang lain” begitu penjelasan saya.
“Dan saya yakin, bahwa Tuhan memang menciptakan keberagaman
ini dengan jalannya. Agar manusia mencari, bukan bertikai antar perbedaan
tersebut” lanjut saya.
Kesepakatan gila diatas tadi memang tidak benar-benar saya
akan lakukan. Sebab perbincangan alot kami dari pagi mengenai keberagaman agama
di Indonesia yang tidak bisa menyatu menjadi pluralisasi. Sehingga iseng saya
menanyakan hal tersebut, dan menjadikan saya menuliskannya disini.
Kita lihat, bagaimana orang berbondong-bondong melanat. Membenci,
menghina dan bahkan tidak sama sekali berkomunikasi pada golongan yang tidak
sejenis dalam etnis dan agamanya. Kita melihat, di Indonesia sendiri bagaimana
masyarakat sibuk berbondong-bondong meneriakan bahwa
agamanya yang paling benar
dan memukuli agama lainnya.
Sebab bagi saya dan Tassya, agama adalah keyakinan diri. Dan
Tuhan adalah tentang keimanan kita kepada yang diatas. Bukan pertentangan yang
dijadikan sebagai identitas perbedaan. Seharusnya, tidak perlu ada benteng
tinggi antar komunikasi etnis satu dengan lainnya. Sayang, bangsa kita terlalu
kolot untuk megakuinya.