Tuesday, June 14, 2016

Satu bulan yang lalu dalam angan dan cita-cita



Satu bulan lalu, saya merasa ini adalah kemungkinan di atas ambang-ambang kenyataan. Artinya, tidak dapat sama sekali saya lakukan. Bagi saya, mimpi itu terlalu naif, terlalu samar-samar dan terlalu jauh untuk dicapai. Tapi entah, semakin ada kekuatan yang mendorong untuk membuat saya jatuh, semakin saya bisa kembali bangkit.

Saya ditekan dari segala arah. Dosen pembimbing yang terlalu amat sibuk dan pekerjaan-pekerjaan yang memforsir waktu saya. Namun, ada sebait harapan, bahwa saya ingin bebas. Saya sudah tidak lagi punya uang cukup untuk bertahan di Surabaya. Saya masih punya cita-cita.

Entah kekuatan dari mana yang merangsang diri saya, merasuk, mencumbui diri saya, bahwa saya harus melakukanya. Pada malam-malam dimana saya menangis karena kelelahan, belum lagi tekanan-tekanan dan ketidakberadaaan pembimbing saya, membuat saya kembali percaya bahwa saya tidak pernah bisa menyelesaikannya.

Namun, pikiran saya seperti diperkosa, dipaksa untuk teap mengerjakan meskipun hasilnya jauh dari kata sempurna.

Pada hari itu, pagi itu, saya menangis diam-diam. Tidak percaya bahwa harinya akan datang. Pada pagi itu, tangan saya bergetar. Bahwa satu langkah lagi, studi saya akan selesai.

Tidak ada kata lain selain terimakasih teramat bagi mereka yag selalu menyemangati saya. Tidak ada balasan bagi siapapun selain terimakasih termat bagi mereka yang turut andil dalam memberikan keyakinan dalam diri saya.


Bahwa Labibah, anak bodoh yang tidak tahu apa-apa, sebentar lagi sarjana.

Sunday, May 8, 2016

Surabaya tanpa cita-cita




Akan selalu ada kota yang menjadikan kamu jatuh cinta. Seperti ada yang mencintai kota Jakarta dengan segala kemacetannya. Seperti ada yang mencintai kota Bandung karena keramaiannya. Atau  yang mencintai kota Surabaya karena apa adanya.

Dua tahun lalu aku jatuh cinta pada kota ini. Kota dimana tiga tahun sebelumnya adalah kota yang selalu menjadi bagian dalam kutukan hidupku. Saat itu, bagiku Surabaya selalu memiliki selah untuk dicintai. Selalu memiliki cara bagaimana agar aku terus jatuh cinta berada di sini.

Bertemu dengan banyak orang baru, bersahabat dengan orang yang mengasyikan, memiliki banyak peluang sampai pada urusan hati. Surabaya memiliki ribuan alasan agar aku jatuh cinta padanya di setiap pagi. Ia seperti menarikku untuk selalu merindukannya saat aku kembali ke kota asalku berada.
.

Aku selalu menceritakan mengapa aku mencintai kota ini kepada semua orang. Sisi di celah sepanjang jalan Ahmad Yani, atau kemacetan di sekitar Basuki Rahmat. Surabaya punya cara bagaimana agar aku selalu mencintai kekurangannya setiap hari. Tanpa jeda, tanpa kata dan tanpa pinta,

Setiap pagi, di balik balkon kamar yang tersekat sebuah jemuran, aku selalu berharap banyak dari kota Surabaya. Setahun setelahnya, Surabaya menjadikan mimpiku nyata.

Surabaya seperti punya celah untuk mengabulkan setiap doa. Dan ia memiliki cara agar cita-citaku tidak hanya bualan anak remaja.
Seeperti itu berlangsung lama.

Hari ini... Surabaya sudah tidak punya udara yang sama. Yang aku temukan hanya kehampaan di balik sekat dinding kamar. Memaksaku untuk keluar, dan melihat kehampaan. Yang aku temukana dalah sisa sisa kebencian, yang kemudian menjadikan Surabaya adalah tempat dimana aku sepatutnya tidak pernah ada. Yang aku temukan adalah, Surabaya sudah tidak punya cita-cita, asa dan sedikit harapan. Semuanya pergi di balik kebenciang yang aku tuai.


Thursday, May 5, 2016

Surabaya tanpa irama




Kota Surabaya bagiku sudah tiak memiliki irama yang sama.

Sudah tidak ada asa, harapan atau bahkan cita-cita.

Semuanya hampa. 

Sulit untuk menemukan sedikit gelagak tawa.


Tuesday, March 22, 2016

Sebait Cerita Tentang Hidup


Untuk menjadi besi, ia harus kuat ditempa. Untuk menjadi seelok permata ia harus tahan segala gesekan. Untuk menjadi sekuat karang, ia harus bertahan saat diterpa ombak besar.
Tidak ada kekuatan yang lahir hanya dari  takdir. Segalanya butuh proses yang terkadang menyakitkan. Untuk menjadi jernih, air harus rela jatuh ke bawah agar alirannya tidak mematikan. Untuk terbang tinggi, setiap burung rela meninggalkan sarangnya. Setiap apapun yang terjadi dalam hidup adalah proses sebagai fitrahnya berada di dunia.

Manusia juga begitu, punya andil dalam setiap proses hidupnya. Ada yang berjalan mulus tanpa penghadang batu besar, sampai yang berkelok menerima setiap terpaan ujian.
Saya, dulu, melawati masa dari masa dengan penuh tikungan tajam. Kadang penah tidak bisa makan karena sudah tidak punya uang, atau harus pulang berjalan kaki karena sisa uang bis terjatuh tanpa saya sadari. Saya pernah merengek-rengek pada Tuhan, mengapa hidup ini tidak punya setitikpun keadilan. Saat setelah pulang sekolah, saya tidak bisa seperti kawan lainnya yang menghabiskan waktunya untuk nongkrong di sebuah mall. Karena saya harus berjualan membantu pengobatan ayah saya. Saya pernah merasa hidup pantas untuk segera diakhiri, saat berujung pada kematian ayah saya dan keluarga saya diambang kehampaan.

Tapi setelahnya saya tersadar, bahwa hidup bukan hanya sekedar urusan perut. Meskipun berkali-kali saya marah pada Tuhan sebab lauk kami hanya sayur sop yang dipanaskan sisa semalam. Atau saat ibu saya terpaksa harus membobol celengan satu satunya milik saya, sebab kami sudah tidak tahu harus makan apa lagi.
Setelahnya saya tahu diri, bahwa saya memang lahir dari keluarga yang tidak hanya ongkang ongkang kaki. Setelah ayah saya meninggal, dan saya menderita DBD sekaligus tipes karena kecapekan berjualan dan sekolah, saya akhirnya bisa kembali ke kehidupan sewajarnya. Setidaknya derajat saya naik sedikit, walaupun saya tetap berjualan, tapi dibantu dengan karyawan. Saya diterima oleh sebuah majalah, untuk menulis di salah satu kolom. Tulisan yang pertama saya masukan adalah tentang ayah saya. Sejak saat itu, saya merima uang honor tiap bulan untuk membantu uang jajan sekolah saya.

Tuhan angkat derajat saya. Setidaknya saya tidak pernah merasa terlalu kelaparan, setidaknya saya bisa menabung membeli sebuah handphone seperti kawan-kawan saya. Setidaknya saya bisa menikmati duduk di kursi empuk sebuah cafe. Tuhan angkat derajat keluarga saya, setidaknya abang dan kakak saya sudah memiliki keluarga, memiliki title dan pangkat untuk dibayar dengan gaji yang tinggi. Tuhan angkat derajat ibu saya, yang sebelumnya tidak bisa apa-apa kini memiliki usaha sendiri di rumahnya. Tuhan angkat derajat saya, yang setidaknya bisa memberi makan diri saya sendiri tanpa pernah meminta kepada keluarga. Setidaknya saya bisa mengurusi diri saya sendiri tanpa bantuan kaka dan abang saya.


Tapi..  Tuhan kembali buat tikungan tajam dalam hidup saya. Yang saya harus kembali melewatinya. Setelah sebelumnya jalan itu lurus, mulus tanpa terputus. Tuhan mau angka derajat saya lebih tinggi, maka saya harus tertatih melewati ujian ini.

Wednesday, October 21, 2015

For some travelers.. love is..


For some people travel is a part of their personal description. Ada yang menjadikan perjalanan sebagai bagian dari masa mudanya, ada yang menjadikan perjalanan adalah hal yang paling dibenci dalam hidupnya atau ada yang menjadikan perjalanan adalah hal yang biasa-biasa saja.

People travel for  different reasons. Ada yang hanya sekedar untuk bermain, ada yang untuk menamatkan dirinya atas keagungan penciptaan yang maha kuasa, atau ada yang sekedar untuk menghamburkan uang. Namun, some travel for a greater purposer. Seperti aku yang sedang duduk di bawah kayu, menikmati deru mesin kapal yang semakin menua. Dibelakangku ada nahkoda kapal yang kulitnya mulai gosong, saking terpaparnya matahari setiap hari. Sedang di sisi depan kepala kapal ada beberapa orang dengan berbahasa asing menikmati pemandangan.



Kami menuju sebuah pulau di barat pulau Bali. Sejenak melepas penat tentang apa yang sedang kami kejar, bernama skripsi. Aku, bersama seorang sahabatku dan dua kawan sebangku kuliah. Berpergian dari Surabaya menuju pucuk pulau Jawa dengan berkendara motor. Percayalah, ini ide tergila yang pernah aku lakukan. Dibanding sebelumnya berpergian sendirian ke kalimantan menggunakan pesawat, atau ke daerah lampung dan jambi hanya berkunjung ke rumah guru lama. Ini lebih gila. 

Menggunakan sepeda motor selama 9 jam, bocor ditengah malam tanpa ada satupun bengkel yang buka. Lalu kami menggedor sebuah rumah yang didepannya terpampang tulisan “Bengkel”. Keluar bapak tua yang matanya memerah, aku berkali-kali mengucap maaf, menganggu tidrunya hanya karena dua paku yang menancap di ban belakang motor. Ia hanya tertawa ramah “Saya pernah merasakan apa yang kalian rasakan. Jangan berterimakasih, saya tahu rasanya bagaimana menjadi kalian” pernyataan itu membuat aku sedikit lebih tenang. Setidaknya  perjalanan kami yang masih panjang ini punya cerita. Pukul 2 pagi, belum makan malam dan perjalanan masih 4 jam lagi. Dua kawanku masih sibuk dengan batangan rokoknya, sedang kami menunggu dengan mata sayup dan menimpal lelucon tidak berguna.

Pada akhirnya kami tiba, di pulau yang telah dimimpikan banyak orang. Menikmati keindahan bawah laut, melihat dari dekat bagaimana ribuan ikan menempati habitatanya. Berjalan di bibir pantai menikmati terik yang menusuk tajam ke kulit. Sekedar berenang dari ujung sampai ujung tanpa bantuan pelampung. Berpindah dari satu batu karang ke batu karang lain tanpa bermaksud untuk merusak.



Aku sudah mencintai laut, sejak kecil. Saat Ayah membawa liburan keluarga menuju satu pulau di Jakarta. Pulau Untung Jawa, waktu itu sangat indah karena belum banyak yang tahu tentang keelokannya. Lalu tahun-tahun berikutnya, saat ayah sudah tiada, aku berlibur bersama dua kakak dan satu adik kembali mengunjungi sebuah pulau di Indonesia. Pertamakalinya, dalam hidup mencoba menjelajah dalam laut. Lalu aku jatuh cinta, sangat dalam pada keelokan kehidupan laut disana.

Beberapa kali aku telah menjelajah untuk mengintip karang milik Indonesia. Dari bangka belitung, kalimantan, NTT, dan pulau-pulau kecil di tempat lain,  tapi kali ini, aku terpesona dibuatnya. Pulau ini sangat terawat, dijaga oleh kaki-kaki pendatang. Jika ada yang berani merusak, mereka harus bertanggung jawab.

Aku sempat terombang ambing oleh ombak. Lalu pusing tidak karuan. Menepi sejenak dan bersandar diatas kapal. Demi Tuhan ini yang kedua kalinya snorkeling berujung jadi mabok laut. Kata pak nahkoda, atau nelayan? Baik kita sebut di nahkoda saja. Aku salah mengambil langkah, malah menahan ombak dan jadilah pusing dibuat. Apalagi dengan belum sarapan pakai nasi, matilah sudah badan terkapar diatas kapal.




Ada senandung-senandung yang terus berkecamuk dalam batin. Tentang kebahagiaan yang telah aku capai dan keindahan yang telah kusaksikan bersama orang-orang yang berharga. Dalam bisik pada air yang terbuai karena deru kapal, aku berucap “Semoga ini bukan jadi perjalananku yang terakhir ya.. tunggu nanti..” | Banyuwangi 18 oktober 2015

Wednesday, September 9, 2015

Tuhan diantara dua perbedaan





“Jika kamu yakin dengan Yesus, dan aku yakin dengan Allah. Berani tidak bersumpah mengatasnamakan agama siapa yang paling benar” pertanyaan itu sejenak membuat jeda antar obrolan kita berdua. Saya, dan sahabat saya yang sejak tadi berbicara panjang tentang agama.
Sebelumnya kenalkan, dia ini Natassya, Kristen asli Batak yang sudah bertanah air Surabaya. kita sering bertukar pikiran tentang agama siapa yang paling benar. Dan hasilnya, kita ilhami sendiri sebagai sebuah kepercayaan.

Sejak pagi, ketika ia tiba di kosan saya beberapa pertanyaan saya lontarkan untuk mengisi kebingungan saya, dan dia yang memikirkan proposal skripsi kami yang tidak selesai. Saya bercerita bagaimana keberagaman ajaran dalam islam, sedang ia bercerita bagaimana perpecahan dalam kristen.

Beberapa buku yang kami baca lantas menjadi landasan atas setiap perbedaan yang kami tuturkan. Jika ia percaya bahwa Isa Almasih adalah Tuhannya, maka saya percaya Isa adalah Nabi yang akan turun pada akhir jaman untuk memberitahu kebenaran.

Perbincangan kami alot, sampai menentukan titik mana yang harus kami percaya. Saya percaya 100 persen dengan agama yang saya genggam. Sebab bukan karena saya lahir dari ajarannya. Melainkan saya pahami lebih dalam dan percaya bahwa agama saya yang paling benar. Sama dengan Tassya, yang menganggap bahwa agamanya yang paling benar dan saya adalah domba yang hilang dari jalan kebenaran.

Maka saya mengatakan dia adalah kafir, dan dia mengatakan saya adalah kafir. Tapi kami bersahabat dan sangat dekat. Dia sering sekali menanyakan apa saya sudah shalat. Dan saya sering menyemangatinya untuk beribadah di gereja. Dua perbedaan ini lantas menjadi perbincangan yang ekstrem ketika  saya menanyakan satu pertanyaan berat.




“Jika kamu yakin dengan Yesus, dan aku yakin dengan Allah. Berani tidak bersumpah mengatasnamakan agama siapa yang paling benar. Konsekuensinya salah satu dari kita akan menerima laknat” hening. Saya biarkan dia berpikir sejenak. “Tidak. Saya  tidak akan bersumpah bahwa agama saya paling benar dan kamu akan dilaknat Tuhan. Sebab dalam agama saya sumpah atas nama apapun tidak diperbolehkan” diam sejenak. Saya setuju.

“Agama dan Tuhan adalah mengenai kepercayaan diri masing-masing manusia. lantas kita tidak berhak untuk menuntutnya sesuai dengan apa yang kita percaya. Jadi saya tidak akan menerima apapun sumpah walaupun demi membela Tuhan saya” lanjutnya.

Saya sangat setuju. “Agama dan Tuhan adalah tentang bagaimana keimanan seseorang. Dan itu hanya diketahui oleh dirinya masing-masing.. sehingga tidak berhak ada tuntutan untuk mencari tahu siapa yang paling benar. Bukan karena saya tidak yakin dengan agama danTuhan saya. Sebab saya terlalu yakin, maka saya meyakininya hanya untuk diri saya. Bukan untuk diumbar kepada orang lain” begitu penjelasan saya.

“Dan saya yakin, bahwa Tuhan memang menciptakan keberagaman ini dengan jalannya. Agar manusia mencari, bukan bertikai antar perbedaan tersebut” lanjut saya.
Kesepakatan gila diatas tadi memang tidak benar-benar saya akan lakukan. Sebab perbincangan alot kami dari pagi mengenai keberagaman agama di Indonesia yang tidak bisa menyatu menjadi pluralisasi. Sehingga iseng saya menanyakan hal tersebut, dan menjadikan saya menuliskannya disini.

Kita lihat, bagaimana orang berbondong-bondong melanat. Membenci, menghina dan bahkan tidak sama sekali berkomunikasi pada golongan yang tidak sejenis dalam etnis dan agamanya. Kita melihat, di Indonesia sendiri bagaimana masyarakat sibuk berbondong-bondong meneriakan bahwa 
agamanya yang paling benar dan memukuli agama lainnya.


Sebab bagi saya dan Tassya, agama adalah keyakinan diri. Dan Tuhan adalah tentang keimanan kita kepada yang diatas. Bukan pertentangan yang dijadikan sebagai identitas perbedaan. Seharusnya, tidak perlu ada benteng tinggi antar komunikasi etnis satu dengan lainnya. Sayang, bangsa kita terlalu kolot untuk megakuinya. 

Tuesday, July 7, 2015

Ajang reuni, ajang eksistensi diri




Saya akan berlanjut pada tulisan saya sebelumnya. Karena jika dijadikan satu tulisan, mungkin tulisan saya akan sangat membosankan dan berbelit-belit dimata kawan-kawan.

Datang diajang reuni adalah keadaaan yang membingungkan bagi beberapa orang. Bertemu teman lama yang bahkan sudah tidak pernah saling komunikasi pasti menimbulkan sedikit kecanggungan.

Panjang lebar, setidaknya acara reuni itu diberlangsungkan. Maka banyak yang mulai memamerkan jati dirinya. Percayalah, kalian seperti itu, saya juga.

Baru saja pulang dari acara sebuah reuni kecil kawan lama. Benar memang ini kawan lama karena mereka adalah sekumpulan orang sejak saya di sekolah dasar. Banyak dari mereka yang saya baru bertemu lebih dari 8 tahun lamanya.

Mengingat kejadian tadi, saya masih cekikikan tertawa lugu. Ajang reuni itu tempat memamerkan diri. Mengeksiskan diri dan memperkenalkan siapakah kita sebenarnya. Si “A” yang tergolong pendiam,  sontak jadi pecicilan karena ingin dikenal. Si “B” yang sebelumnya pecicilan, menjadi pendiam karena perubahan dalam hidupnya.

Reuni adalah tempat bagaimana dirimu dikenang. Jika si “A” dikenal sebagai bodoh, maka dia akan datang dengan memamerkan betapa dirinya saat ini sangat pintar. Jika si “B” dikenal sebagai sosok yang nakal, percayalah dia akan datang dengan mengenalkan dirinya yang saat ini menjadi sosok yang baik untuk semua orang.

Ajang reuni adalah upaya uuntuk mempertontonkan siapa kita, lalu dihiperbolakan dengan sikap dan ucapan. Beberapa orang memamerkan betapa kehidupannya sangat baik, betapa bisnisnya melejit dan betapa pasangannya sangat cantik.

Tapi mereka lupa, bagaimana mereka dahulu dikenang. Dan itu merupakan bahan gojlokan untuk ditertawakan.

“Dulu elo yang pipis dicelana pas gue labrak di kelas itu kan?”

“Ih lo itu yang dulu suka makan tai dari tanah kan? Masih suka makan lo ampe sekarang?”

“Lo si Fulan... Fulan yang dulu kalo jalan ingusnya meler meler gak pernah di lap itu kan?”

Percayalah semua orang akan tertawa. Dan candaan ini dilepaskan oleh si “Raja” yang dulu sangat eksis di sekolah.

Semua orang pasti penasaran bagaimana dirinya dahulu dikenang. Lalu ia patahkan kenangannya tersebut dengan jati dirinya yang sekarang. Ia pamerkan tentang apa yang ia capai, dan ia lantangkan bagaimana bahagianya ia sekarang.

Ah... ternyata reuni itu penting kawan. Untuk meyakinkan diri kita sendiri tentang bagaimana kita dihadapan orang. Bagaimana diri ini dikenang dan lalu apakah sudah ada perubahan.

“Gak berubah ya lo dari dulu, tengil tengil aja gaya lo..”

“Gak berubah ya lo.. masih begini begini aja..”

Mungkin itu karena kalian tidak memamerkan diri kalian seperti apa kepada mereka. Atau karena memang dalam hidup kalian tidak terjadi sama sekali perubahan. Maka dari itu datang ke reuni itu penting, kawan. Untuk melihat sejauh apa diri kita ini telah melangkah. Menjadi baik, atau malah lebih buruk.


Meskipun untuk datang ke reuni, sangat deg degan. Bingung jika sudah tidak ada yang mengenal. Atau bahkan takut obrolan kalian diacuhkan.