Satu bulan lalu, saya merasa ini adalah kemungkinan di atas
ambang-ambang kenyataan. Artinya, tidak dapat sama sekali saya lakukan. Bagi saya,
mimpi itu terlalu naif, terlalu samar-samar dan terlalu jauh untuk dicapai. Tapi
entah, semakin ada kekuatan yang mendorong untuk membuat saya jatuh, semakin
saya bisa kembali bangkit.
Saya ditekan dari segala arah. Dosen pembimbing yang terlalu
amat sibuk dan pekerjaan-pekerjaan yang memforsir waktu saya. Namun, ada sebait
harapan, bahwa saya ingin bebas. Saya sudah tidak lagi punya uang cukup untuk
bertahan di Surabaya. Saya masih punya cita-cita.
Entah kekuatan dari mana yang merangsang diri saya, merasuk,
mencumbui diri saya, bahwa saya harus melakukanya. Pada malam-malam dimana saya
menangis karena kelelahan, belum lagi tekanan-tekanan dan ketidakberadaaan
pembimbing saya, membuat saya kembali percaya bahwa saya tidak pernah bisa
menyelesaikannya.
Namun, pikiran saya seperti diperkosa, dipaksa untuk teap
mengerjakan meskipun hasilnya jauh dari kata sempurna.
Pada hari itu, pagi itu, saya menangis diam-diam. Tidak percaya
bahwa harinya akan datang. Pada pagi itu, tangan saya bergetar. Bahwa satu
langkah lagi, studi saya akan selesai.
Tidak ada kata lain selain terimakasih teramat bagi mereka
yag selalu menyemangati saya. Tidak ada balasan bagi siapapun selain terimakasih termat bagi mereka yang turut andil
dalam memberikan keyakinan dalam diri saya.
Bahwa Labibah, anak bodoh yang tidak tahu apa-apa, sebentar
lagi sarjana.
No comments:
Post a Comment