Sunday, May 8, 2016

Surabaya tanpa cita-cita




Akan selalu ada kota yang menjadikan kamu jatuh cinta. Seperti ada yang mencintai kota Jakarta dengan segala kemacetannya. Seperti ada yang mencintai kota Bandung karena keramaiannya. Atau  yang mencintai kota Surabaya karena apa adanya.

Dua tahun lalu aku jatuh cinta pada kota ini. Kota dimana tiga tahun sebelumnya adalah kota yang selalu menjadi bagian dalam kutukan hidupku. Saat itu, bagiku Surabaya selalu memiliki selah untuk dicintai. Selalu memiliki cara bagaimana agar aku terus jatuh cinta berada di sini.

Bertemu dengan banyak orang baru, bersahabat dengan orang yang mengasyikan, memiliki banyak peluang sampai pada urusan hati. Surabaya memiliki ribuan alasan agar aku jatuh cinta padanya di setiap pagi. Ia seperti menarikku untuk selalu merindukannya saat aku kembali ke kota asalku berada.
.

Aku selalu menceritakan mengapa aku mencintai kota ini kepada semua orang. Sisi di celah sepanjang jalan Ahmad Yani, atau kemacetan di sekitar Basuki Rahmat. Surabaya punya cara bagaimana agar aku selalu mencintai kekurangannya setiap hari. Tanpa jeda, tanpa kata dan tanpa pinta,

Setiap pagi, di balik balkon kamar yang tersekat sebuah jemuran, aku selalu berharap banyak dari kota Surabaya. Setahun setelahnya, Surabaya menjadikan mimpiku nyata.

Surabaya seperti punya celah untuk mengabulkan setiap doa. Dan ia memiliki cara agar cita-citaku tidak hanya bualan anak remaja.
Seeperti itu berlangsung lama.

Hari ini... Surabaya sudah tidak punya udara yang sama. Yang aku temukan hanya kehampaan di balik sekat dinding kamar. Memaksaku untuk keluar, dan melihat kehampaan. Yang aku temukana dalah sisa sisa kebencian, yang kemudian menjadikan Surabaya adalah tempat dimana aku sepatutnya tidak pernah ada. Yang aku temukan adalah, Surabaya sudah tidak punya cita-cita, asa dan sedikit harapan. Semuanya pergi di balik kebenciang yang aku tuai.


No comments:

Post a Comment