Wednesday, April 23, 2014

Kamu, yang Menangis Diam-diam di Balik Bantal




Malam. Kamu yang menangis diam-diam dibalik bantal. Seperti rasanya kehilangan banyak hal. Kerabat dekat, keluarga atau bahkan laki-laki yang kamu cintai. Padahal salah satu dari mereka tidak pernah hilang, kamu yang secara perlahan melepas. Secara diam-diam tanpa pernah kamu sadari.. berlari.. semakin menjauh.. menjauh.. sampai kamu tersesat dan merasa sendiri. Merasa kehilangan atau ditinggalkan. Dan tanpa lagi memiliki bahu untuk sekedar bersandar.

Dan laki-laki yang katamu itu, akan kamu cintai sampai mati. Padahal kamu sendiri masih ragu pada hakikinya cinta yang sampai mati itu.

Dia yang mencitaimu dengan teramat, pada saatnya akan melupakanmu dengan caranya yang menyakitimu lebih dulu.

Dan dia yang bersumpah akan menikahimu sampai pada masanya dahimu keriput, akan lupa dan diam-diam pergi dengan alasan bosan telah mendapatkanmu.

Karena cinta yang saat ini kamu punya, mungkin sekedar rasa yang kamu butuhkan sejak lama. Seperti tanah kering yang telah lama tidak dibasahi hujan. Mengerak dan seolah tidak punya harapan untuk kembali menjadi tanah seperti yang biasanya terlihat. Bahkan ketika hujan telah turun untuk memberinya kembali rasa hidup. Untuk menjadikanya keindahan dan kegunaan bagi banyak yang membutuhkan. Padahal jika, ia dipaksan untuk sekedar datang dalam hujam buatan. Dengan asam kecut dari zat yang entah berantah berasal darimana. Akan membuatnya rusak, tercampur banyak bakteri atau membuatnya mati.

Cintamu itu, tidak salah, tidak dengan orang yang salah. Tapi ada cinta yang berbatas. Diberi batas oleh jarak, keadaan, usia, suku, agama atau bahkan alasan yang dibuat-buat. Cinta yang memiliki batasan, untuk sekedar mengaggumi tanpa pernah sedikitpun kamu bisa miliki. Aku ulangi, bahkan membayangkannya saja kamu sudah tidak dapat lagi.

Kejam bukan? Sampai kamu menangis dibalik bantal diam-diam. Berbisik pada tuhan meminta takdir lain yang Ia berikan. Karen rasamu, seperti kehilangan banyak orang. Yang bahkan mereka saat ini hanya bisa tersenyum pilu memandangmu yang menangis malu-malu.

Kamu, yang menangis dengan seolah tidak ada yang bisa dengar. Bahkan siapapun mendengarmu, yang diam-diam berdoa agar tuhan jadikan batasan itu adalah kesatuan. Bahkan siapapun dapat melihat tatapanmu yang seolah berharap waktu agar bisa dikembalikan. Tapi bagaimana bisa, jika memang cinta yang katamu sampai mati itu, justru menyakiti banyak orang yang teramat mencintaimu lebih dari laki-laki itu.

Rasa sayangmu yang teramat itu, yang membuat aku menjadi ragu. Menjadi temanmu yang hanya bisa tersenyum saat kamu berbahagia dan berujung luka. Aku bahkan hanya bisa mendoakan dan sedikit berharap pada tuhan. Bahwa kesakitan yang nanti laki-laki itu akan berikan, tidak teramat sampai membuatmu menjadi perempuan yang selalu menangis setiap malam dibalik bantal.

Saturday, April 19, 2014

Hanya kamu-di Pikiranku, Tuan !




Ini bukan lagi tentang perasaan. Karena kamu teerlalu bodoh untuk tidak tahu atau pura-pura tidak dengar. Bahkan sampai pembantu dirumahmu akan tahu bagaimana perasaan ini tuan, hanya dari mimikku. Kamu terlalu berpura-pura untuk menjadikan semuanya biasa saja.

Ini bukan lagi tentang aku cinta kamu, bukan sebatas ucapan yang selalu tersekat diantara kerongkongan ketika aku ingin mengungkapkan. Atau mata yang gugup berpura-pura saat pandangan kita jatuh bertemu pada kedipan yang aku ingin waktu saat itu mati, berhenti, sampai aku puas memandangmu sedekat itu.

Ini semua bukan tentang itu Tuan, yang aku rasa kamu teralalu bosan untuk mendengarkan.  Yang aku rasa kamu terlalu lelah untuk memikirkan.

Tapi yang saat ini aku rasakan. Aku telah berjalan terlalu jauh kepadamu, tapi kau acuh tak menyadari itu. Aku terlalu letih untuk kau suruh berlari lagi. Karena yang aku kejar ternyata jauh dibelakang menganggapku orang paling bodoh nomor satu.
 
Ini tentang rasa letihku tuan, yang bahkan siapapun pernah merasakan. Diambang rasa bungkam pada kesakitan terdalam.

Mundur sebagi pecundang atau maju sebagai yang tidak tahu diri.

Diam sebagai yang disakiti atau menuntut untuk menyakiti.

Tuan, rasanya bahkan tidak ada keberpihakan.

Menjadikan aku perempuan paling tidak tahu diri. Tidak tahu malu atau bahkan tidak tahu kepribadianku.

Tapi mungkin yang aku tahu hanya kamu, di pikiranku, tuan.

Menduga




Aku sudah menduga bahwa cinta yang kamu punya memang tidak bisa aku miliki selamanya. Ia berputar bak marmut yang sedang mencoba lari dalam sangkarnya. Kadang ia tenang damai dalam keindahan yang diciptakan. Tapi kadang ia gersang, seperti ingin lari lalu hidup pada kemauannya sendiri.

Seperti itukah cintamu? Berputar pada keadaan yang tidak bisa kita tentukan lamanya. Bertahan untuk menciptakan kedamaian, atau berlari mencari putaran lain yang akan kamu arungi?

Aku sudah menduga bahwa kasihmu tidak selamanya hanya untukku. Semu. Seperti senja yang hanya bisa dinikmati sebentar saja, lalu gelap tidak terlihat apa-apa.

Aku sudah menduga bahwa rasa itu memang tidak bisa kamu berikan selamanya. Maumu membagi kepada semua yang meminta, melindungi siapapun yang berlabuh dibahumu. Rasa itu, kamu bagi, selalu.

Aku sudah menduga, kamu akan pergi dalam kesakitan yang aku sendiri tidak tahu salahku apa. Salahku, salahmu atau bahkan salah kita berdua.

Dugaku benar. Cintamu hanya sekedar berbaring dari lelah pencarianmu.

Dugaku tepat, kamu hanya butuh sebuah cinta yang hanya diucap dalam kalimat.


Antara Aku, Kamu dan Barcelona



Diam. Sunyi. Malam. Bahkan hujan seolah berbisik diantara kami berdua yang sama-sama tidak berbicara. Sesekali hanya dentuman sendok bergesek pada piring yang menghasilkan suara. Seperti itu terus sampai lebih dari setengah jam. Suara detik putaran jam disebelah tangan kirinya saja aku bisa dengan jelas dengar, saking kita berdua ini terlalu sunyi. Kerutan dahinya itu, yang selalu membuatku ingin mati. Ditambah kadang lirikan sinis mata picing tanpa senyum itu yang membuatku ingin loncat dari gedung tinggi. Lama telah bibir ini kering tidak berbicara, diam menikmati makanan yang dalam satu minggu ia selalu mencicipinya.
Bahkan jauh sebelum kita masuk tempat yang sedang memutar lagu The heart of life-nya john mayer ini, duduk berdua dipojok agar kita bisa hangat bercengkrama, satu kata yang keluarpun tidak ada.

 “Mau duduk dimana?”
Diam.

“Pesen kayak biasa?”
Diam.

“Lucu ya mas-mas disebelah sana bawa anak kembaran dua gitu.. semacam return of superman yang gak boleh bawa istri gitu.. lucu gak sih?”
Menoleh. Lalu tetap diam.

“Porsinya kerasa lebih banyak ya, atau emang karena kamu gak cicip-cicipin kayak biasaya gitu? Hehe...”
Lirikmu, tetap diam.

Sampai aku habis terhadap porsi makananku yang aku rasa memang lebih banyak dari biasanya. Entah karrena mungkin aku harus menghabiskannya dengan tanpa berbicara. Dan pada saat yang sama aku rasa kesabaranku akan habis juga.

“Aku ada salah ya? Sayang?”
Menggeleng saja.

“Kamu lagi ada masalah? Mau cerita?”
Lagi menggeleng dan tetap diam.

“Gak apa-apa kalo gamau cerita malem ini. Tapi kalo aku ada salah kamu bilang ya... daripada harus diemin aku kayak gini”
Senyum. Kali ini dia tersenyum tapi dengan penuh paksa. Seperti bibirnya diganjal batu besar yang sulit untuk tertawa.

Bosan sudah satu jam ku habiskan hanya dengan duduk berdua, menatap matanya yang picing dengan tanpa suara. Aku berbicara tanpa pernah dibalas ucapannya. Seperti orang gila yang terus berbicara pada si bisu atau bahkan tuli.

Kuselipakan uang yang dengan yang sudah sangat kuhafal berapa jumlah makanan ini pada nantinya dikasir sana. Setiap minggu, ini memang jadi tempat yang wajib untuk sekedar kami sambangi. Memesan makanan yang sama dengan tempat duduk yang sama pula. Aku tidak butuh meminta mbak-mbak yang sejak tadi mondar mandir di belakang untuk meminta jumlah harga meja kami. Toh jumlah hari ini akan tetap sama dengan yang minggu lalu. Kecuali jika secara diam-diam pihak cafe ini menaikkan tarif makanannya. Ada selembar kertas bekas saldo atm yang hanya kutemukan di tas kecilku. Lumayan. Sedikit saja aku ingin menuliskan kata. Dan kembali kuselipkan itu dibalik gelas dengan porsi yang lebih banyak akan terlihat. Kumajukan lebih dekat kepada laki-laki didepanku ini agar dia bisa melihatnya, nanti. Walaupun sejak tadi, sejak makanan didepannya itu habis, kepalanya lebih memilih untuk tertunduk dan memainkan handphone-nya. Entah twitternya yang setiap menit ku refresh tidak menuliskan apapun, status lainnya yang kulihat tidak ada apa-apa. Lantas mungkin dia hanya melihat dan sekedar membalas pesan temannya.

“Aku mau ke kamar mandi ya”

Dia menoleh dan hanya diam.

Aku berjalan, bukan ke tempat antrian toilet yang diujung dekat parkiran. Tepatnya ke pintu keluar. Aku memilih untuk meninggalkan dia yang masih setia pada kediamannya. Bukan aku lari untuk dikejar, bukan pergi untuk dicari. Terkadang kita harus pergi meninggalkan mereka yang tidak menganggap keberadaan kita, sekedar menghilang dari mereka yang merasa bahwa ceritanya tidak pantas untuk kita dengar.

***********************
10 menit bahkan setelah seorang anak kecil main-main dideket gue dan akhirnya terjatuh persis di kaki gue. Dan tanpa reflek apapun gue biarkan dia terjatuh. Gue adalah laki-laki yang hanya berjarak 30 senti dari keberadaan anak itu jatuh, dan tanpa menyadari apapun dan dengan tetap menatap layar twitter seorang selebtwit ini, gue biarkan dia terjatuh dan kepalanya untung bersandar persis di kaki gue. Setidaknya kepalanya gak bakalan terlalu sakit kan? Gimana rasanya di pelototin sama bapaknya yang langsung ngegendong bocah 4 tahun itu yang udah nangis jejeritan. Gue lanjutin scroll kebawah liat selebtwit ini ngomong segala hal yang sebenernya gak penting-penting banget. 

Cewek didepan gue ini udah lebih dari 15 menit belum balik. Shit cewek kalo ke kamar mandi emang harus dandan ulang lagi ya? Gue memilih untuk memperhatikan sekeliling. Setidaknya gak akan ada yang nanya lagi "kamu kenapa sih? aku salah?...." 
Sampai ketika gue melihat lebih dalam posisi yang biasa gue dan perempuan yang sedang kekamar mandi itu biasa dilakukan disini, setiap minggu. Ngomongin om-om disebelah yang keteknya bau dan kecium sampe meja kami, pegawai baru yang numpahin gelas dan harus dimaki abis-abisan, Sampe seorang kakek nenek dinner romantis, dan kalah romantis dibandingkan kami yang jauh lebih muda. Ngakak berdua kayak orang gila, atau sekedar lempar-lempar melting kata sayang. Berbicara sedikit tentang masa depan. Obrolan basa-basi dirumah. Banyak hal. Tapi yang gue rasakan sepertinya malam ini kosong, bahkan gak ada obrolan sedikitpun.

Gue melihat ada secarik kertas yang diatasnya bertumpuk sejumlah uang. Gue rasa itu punya cewek gue yang emang sengaja biar dia gak harus bongkar dompetnya nanti pas bayar. Dan setelah lama gue perhatikan, sepertinya kertas itu tertuju kepada gue. Gue ambil. Sedikit basah karena dengan bodohnya dia taruh dibawah gelas yang masih ada bercak air es batunya. Gue terpaku pada sekitar dua kalimat diatas secarik kertas bekas tersebut.

“Yang tidak kamu ketahui adalah kediamanmu itu membuat aku jadi dungu, lugu dan terlihat lebih baik menjadi bisu. Maaf Aku pulang duluan”

Gue Cuma diem dan memang dari tadi gue diam. Kayaknya memang bibir gue untuk digerakin setelah banyak mention-mention bangsat tadi pagi-subuh seraya memaki dan mengucap kebanggaan pada tim kesayangannya. Gue mau muntah ngeliatnya dan bahkan sampe detik ini masih ada aja yang ngehina-hina. Gue diam karena semacam kecewa berat terhadap apa yang gue selalu banggakan.

Barcelona tereliminasi dari liga champion. Dikalahkan oleh atletico madrid dengan menang agregat 2-1. Barcelona kalah di copa del rey oleh Real Madrid dan menjadi Runner-up yang cuma dikalungin medali. Dengan gol konyol yang tidak jeli pinto tangkap.

Yang tidak dia ketahui adalah bagaimana wajah koke saat menendang bola itu setelah sebelumnya adrian lopez berikan lewat sundulan sederhana, dan masuk ke gawang.

Yang tidak dia ketahui adalah bagaimana wajah pennyesalan pinto saat tidak bisa dengan sigap menghalang setiap bola yang masuk ke gawangnya.

Bagaimana gol bale yang sangat menyesakkan tanpa adanya perlawanan.

Bagaimana rasanya kita seperti seolah kehilangan valdes dari lapangan.

Beberapa pemain yang cedera dan tetap dipaksakan ikut pertandingan.

Bahkan sampai pada pemain yang kurang fokus karena persiapan piala dunia.

Yang tidak perempuan ini ketahui adalah bagaimana hancurnya gue setelah kalah taruhan. Dimaki banyak orang dan dijadikan lelucon oleh kebanyakan seleb twitter.

Yang tidak dia ketahui adalah gue kecewa besar dengan tim yang gue selalu banggakan lima tahun belakangan. Dan entah kekecewaan gue setelah tadi subuh melihat casillas harus mengangkat trofi dan disoraki kebanggan oleh para pendukungnya itu. Bangsatnya memang kenapa gak langsung gue matiin tivi gue dan lekas tidur. Brengseknya adalah gue harus melihat itu semua dan masih jelas terekam dikepala gue.

Surat kecil putih yang basah dan lecek ini masih gue pegang. Gue tertawa pada diri gue yang gue rasa memang keterlaluan. Gue meyakinkan diri gue bahwa xavi, iniesta, messi dan semua kawan di barcelona tetap akan menjadi tim kebanggan gue yang akan memenangkan banyak kejuaraan di tahun depan.

Kaki gue berhenti. Persis didepan pagar putih tepat tadi 2 jam la
lu gue sebenarnya sudah disini. Gue didepan rumah perempuan yang paling gue cintai. Atas kesalahpahaman terhadap kediaman gue hari ini, gue Cuma ingin menjelaskan.


Shit. Barcelona kalah dan gue gaboleh kehilangan cinta gue ini.

Saturday, April 12, 2014

Alasan : Saya Memilih untuk Tidak Memilih




Sebenernya udah dari tiga tahun gue menungu tanggal 9 april. Ngebacot soal politik tapi kalo lo bukan sebagai salah satu yag berpartisipasi bagi gue adalah sama aja dengan bulshit. Sekitar satu tahun lalu emag gue pernah berpartisipasi dalam kotak alumunium untuk pemilihan wali kota bekasi. Gue bisa balik karena emang dikasih ongkos bolak balik dan juga punya waktu senggang libur 4 hari, gak banyak tugas dan gak ada penelitian berat. Tapi dengan segala rasa bersalah gue, 9 april 2014 yang sudah gue tunggu selama 3 tahun belakangan justru malah gue sia-siakan. Gue memilih untuk tidak memilih. Terserah lo mau bilang bahwa gue golput atau apapun, dimata gue, gue bukan golput. 

Gue Cuma memutuskan untuk tidak memilih karena keadaan. Iya, gue di Surabaya dan tempat pemilihan gue adalah Bekasi.

“kenapa gak balik aja?”

“Iya gue butuh seminimal 500 ribu untuk tiket bolak balik Jakarta-Surabaya. Gue gak mau tanya siapa yang mau bayarin tiket gue, gue Cuma mau jawab bahwa dompet gue gak mungkin ngeluarin duit segitu banyak dalam waktu Cuma dua hari”

“oke, kan sekarang ada tuh pengurusan supaya lo bisa nyoblos di daerah tempat lo tinggal”

“iya, tapi gue butuh beberapa surat yang harus di urus di tempat asal gue. Yag artinya gue harus kesana juga? Kedua, sampe hari ini pihak pemerintah bekasi masih belum mau tanggung jawab atas menghilangkan e-ktp gue yang katanya keselip gitu. Dan itu jadi alesan gue gak bisa nyoblos juga di Surabaya”

“seandainya bahkan gue bisa mengurus surat untuk bisa nyoblos di Surabaya, jatuhnya gue akan bingung siapa yang akan gue pilih. Kenapa? Karena caleg dari Surabaya gak ada yang gue tau, bahkan mungkin sedikit tidak ada hubungan dengan kemajuan gue. Istilah kasarnya adalah, gue juga mungkin tidak akan merasakan kinerja mereka. Tapi tetap seandainya gue bisa memilih di Surabaya gue akan mencoblos hanya sebatas partainya saja.”

Bagaimanapun gue merasa sangat bersalah ketika pada akhirnya gue tidak bisa dalam bagian pencoblosan di 9 april. Gue sangat... sangat ingin berada dalam bagian mereka yang menentukan pemerintahan Indonesia kedepan. Tapi gue berada dalam keadaan yang juga sulit buat menjadi bagian dari mereka. Atau bahkan KALAU ada caleg yang berani membayarkan tiket bolak-balik gue dalam keadaan nyaman, maka gue tidak akan segan memilih dia. Untuk sebagai ucapan terimakasih gue karena membuat gue menjadi bagian dalam pemilihan. Caleg dari partai apapun. Tapi tetap, gue akan memilih partai yang gue inginkan dan menurut gue paling bagus.

“wah berarti lo gampang banget disogok dong?”

“terserah lo mau nangkepnya gimana. Gue mencoblos hanya sekedar rasa terimakasih gue. Setelahnya gue memilih partai yang benar dan yang gue inginkan. Setidaknya atas jasa dia gue menjadi warga negara yang tidak dikatakan golput”

Pada tahun ini ditanggal 9 april gue Cuma bisa gigit jari liat tv, nyaksiin kegiatan tps disana. Setelah 3 tahun gue belajar dan tahu politik, justru pada prakteknya gue malah tidak berpartisipasi. Berkali-kali gue berikrar dalam diri gue untuk tidak golput, tapi ternyata keadaan seperti ini yang membuat gue juga tetap tidak bisa memilih.

Gue memilih bukan untuk partai yang gue pilih bisa menang. Gue mau berpartisipasi agar partai yang tidak gue sukai tidak bisa menduduki bangku kepresidenan.

Ada berapa manusia yang mengalami nasib seperti gue? Disalahkan semua orang karena dianggapnya tidak memilih. Gue selalu mau bilang ke mereka bahwa gue tidak memilih karena keadaan, bukan karena tidak adanya kemauan. Siapapun yang bertanya pada gue “lo milih partai apa? Caleg apa?” gue tidak akan sungkan untuk menjawabnya.

Tapi pada pemilihan presiden nanti gue akan mengusahakan datang. Gue mau jadi bagian penting dalam pemilihan siapa yang akan menentukan kebijakan besar di Indonesia.