Thursday, May 8, 2014

Pergi ke Samudera Luas




Kenapa harus home-sick? Kenapa harus selalu kangen rumah. Harus nangis dibalik bantal karena gak punya temen cerita. Harus merasa kehabisan uang ditengah bulan karena harga dengan tiba-tiba naik semanunya. Sabtu-minggu diem bengong merhatiin kosan yang sepi. Kenapa harus terasingkan.. terbuang dan dijauhkan dari beberapa orang. Merasa kehilangan padahal masih pada keadaan yang sama.

Karena memang jarak adalah salah satu jalan yang Tuhan ciptakan. Adalah kuasaNya untuk meberikan titah pada manusia. Jika tanpa jarak dan batasan, maka manusia akan semena-mena dan terjadilah kericuhan yang tak terselesaikan.

Gue jadi inget puisi yang membuat gue selalu bangkit dari tangisan awal gue kuliah di sini. Di Surabaya. Suatu pagi dengan mata sembab bekas gue semalam menangisi kerinduan gue terhadap  rumah, dia, kakak gue mengirimi bbm panjang yang gue baca dalam perjalanan menuju kampus.

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
Pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
Pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang dan warna senja belum kemerah-merahan.
Menutup pintu waktu lampau

Jika bayang telah pudar dan elang laut pulang ke sarang
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri dan nahkoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padakku!

Kembali pulang, anakku sayang Kembali ke balik malam
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”

Asrul Sani

Siapapun akan mengartikan puisi ini dengan banyak gambaran, prasangka bahkan pengartian. Setelah baca itu gue menentukan untuk kembali ke kosan gue. Menangis sejadinya dan meninggalkan satu mata kuliah. Gue diijinkan untuk menangis satu malam. Hanya satu malam ketika sehabis gue membaca puisi tersebut. Setelah kakak gue tahu bahwa setiap malam gue selalu menangis merasa diasingkan. Setelah sebelumnya gue merengek untuk segera pidah dari kota antah berantah. Setelah gue menangis terlalu panjang. Dia mengirimi kalimat itu dengan membuat gue kembali menangis.

Menangis sejadinya seperti seolah gue kehilangan arah. Gue seperti dicabik-cabik terhadap kebodohan gue.

Perjalanan gue disini adalah salah satu tapak mimpi yang akan gue ciptakan dikemudian hari. Tapi entah mengapa gue selalu merasa ingin kembali pulang dengan terperangkap dibalik ketiak ibu. Meminta perlindungan dan selalu berharap diberikan ketenangan.

Gue ini nahkoda, yang sedang melaut dipelabuhan jika terus bersandar pada ketiak orang tua. Gue berjalan baru sampai laut dasar dan bahkan pelabuhan gue masih kelihatan. Gue selalu merasa ombaknya besar dan tidak bisa untuk melanjutkan. Gue seperti merasa tercekat pada jaring yang tidak siapapun melemparnya. Gue menangis untuk kembali pulang. Bersandar pada dermaga dan berlindung dibalik ketiak orang tua.

Sampai pada akhirnya pesan itu datang. Menampar pipi gue yang merasa lemah pada ombak yang terlalu sederhana. Gue cinta keluarga gue, dan gue tidak selamanya harus berlindung pada naungan 
kenyamanan. Gue harus ke laut bebas, untuk belajar bagaimana ombak yang keras. Gue harus pergi 
 ke samudera luas, untuk bisa mencapai apa yang mimpi gue telah rumuskan.

Tapi pada masanya gue harus pulang. Kembali pada malam yang semakin pekat. Bercerita tentang bagaimana perjalanan itu adanya. 

Karena pada masanya gue akan kembali, pada cerita pahit ombak yang telah gue lewati.

Tapi adanya kenapa harus selalu rindu rumah ditengah perjalanan. Selalu merasa ombaknya terlalu besar dan ketakutan terhadap akan matinya ditengah jalan.

Kita, anak rantau, adalah nahkoda yang sedang melaut tengah sampai pada samudera. Kita mungkin 
bisa kembali dengan mengubur apa yang telah kita mimpikan sejak awal. Buktinya kita telah jalan sejauh ini, seindah perjalanan ini dan sesulit yang telah kita lewati

Kita bukan pengecut yang ditakdirkan Tuhan untuk tetap bertahan. Karena dari awal kita tidak pernah menentukan untuk kembali kepada perlindungan.

Kita adalah nahkoda yang sedang memikirkan jalan pulang dengan terus berjalan. Karena pada masanya kita akan kembali. Untuk bercerita tentang apa yang telah kita lewati dan kita cita-citakan.

Karena pada waktunya kita akan pulang, merajut masa dengan sejumput kebanggaan.

Maka untuk kalian anak rantau. Ombak ini memang terasa kencang. Tapi akan masih banyak yang 
besar didepan. 

Kembali adalah pilihan pecundang. Terus berjalan adalah pilihan pemenang.

Kita memang akan merasa diasingkan, tapi pada masanya keterasingan itulah yang membuat kita telah berada pada apa yang dari dulu ingin kita capai.

Wednesday, May 7, 2014

Kisah ini Sederhana



Ijinkan aku bercerita sebentar saja, sebelum malam lelap ditinggal bulan yang terumpat dibalik awan. Ini cerita. Kisah seorang bocah yang menangis pedih, sembari sesekali menghapus buliran air matanya dengan telapak tangan yang kotor terkena debu jalanan. Meronta, ingin diberikannya pelukan, agar tidak terlihat tuna kasih sayang.

Ini memang hanya tentang seorang bocah yang beranjak dewasa, rindu pada ayahnya. Rindu akan sebuah kasih dari laki-laki yang dulu paling dicintainya. Sampai rindu itu telah jengah dan memuncak pada isakan tangisan yang disendat. Lalu hanya bisa terucap oleh doa-doa yang ditaburnya tadi malam.

Ini memang tentang kisah yang tidak butuh siapapun mengibakan. Sesederhana itu untuk didengarkan. Tapi entah, seolah air mata rasanya mengalir tanpa pernah bisa diberhentikan. Hati teramat sesak seperti tidak memiliki ruang kebahagiaan. Rasanya memang sebesar itu. Seperti dititik balikan pada satu masa yang kamu sendiri belum siap untuk terjatuh. Padahal dengan alasan yang sesederhana itu.

Ini memang tentang tulisan anak yang rindu pada ayahnya. Yang hanya bisa memandanginya lewat batu nisan sudah tidak berwarna. Seolah nisan itu telinga yang bisa mendengar dari apa yang akan diceritakan. Gila kata kebanyakan orang. Tapi entah sampai kapan, bocah yang beranjak semakin dewasa itu, akan terisak menangis sambil bercerita tentang hidupnya dibalik genggaman nisan yang sesekali diusap rintikan air yang jatuh tanpa bisa ditahan. Entah sampai kapan, pandangan gila dari kebanyakan orang itu akan bertahan.

Sesederhana rindu kepada ayah yang sejak kecil selalu memberi kecupan manis ketika hendak berangkat sekolah. Sesederhana rindu dinasehati saat tidak menuruti perintah ibu. Sesederhana itu dan entah mengapa tangisannya terdengar besar.

Karena, rasa cinta bocah kecil yang beranjak dewasa itu memang tidak sesederhana kisah mereka. Ia cinta. Mati. Pada ayahnya sendiri.

Dan semakin ia menerima kenyataan bahwa ayahnya sudah tidak ada disisinya lagi, semakin cintanya itu tumbuh besar. Semakin besar dan bahkan tidak lagi dapat diukur dan dibayangkan. Semakin ia menyadari bahwa ayahnya telah lebih dulu mati, semakin ia mengerti bahwa cintanya tidak ikut dikubur dan dilumpuhkan.

Bagaimana bisa, kita kehilangan seseorang dan tetap akan mencintainya? Atau bagaimana bisa seseorang yang telah lebih dulu pergi, lalu cintanya baru kamu sadari.

Ini memang kisah sederhana. Tentang seorang anak yang meminta Tuhan untuk mengembalikan sosok ayahnya. Sesederhana itu, walaupun ia tahu tidak akan bisa.

Tapi entah sampai pada kapan waktunya, anak itu akan tetap meronta. Agar dikembalikannya sosok seperti ayahnya dalam kehidupannya.