Kenapa harus home-sick? Kenapa harus selalu kangen rumah. Harus
nangis dibalik bantal karena gak punya temen cerita. Harus merasa kehabisan
uang ditengah bulan karena harga dengan tiba-tiba naik semanunya. Sabtu-minggu
diem bengong merhatiin kosan yang sepi. Kenapa harus terasingkan.. terbuang dan
dijauhkan dari beberapa orang. Merasa kehilangan padahal masih pada keadaan
yang sama.
Karena memang jarak adalah salah satu jalan yang Tuhan
ciptakan. Adalah kuasaNya untuk meberikan titah pada manusia. Jika tanpa jarak
dan batasan, maka manusia akan semena-mena dan terjadilah kericuhan yang tak
terselesaikan.
Gue jadi inget puisi yang membuat gue selalu bangkit dari
tangisan awal gue kuliah di sini. Di Surabaya. Suatu pagi dengan mata sembab
bekas gue semalam menangisi kerinduan gue terhadap rumah, dia, kakak gue mengirimi bbm panjang
yang gue baca dalam perjalanan menuju kampus.
Pergi ke dunia luas,
anakku sayang
Pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas,
anakku sayang
Pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang dan warna senja belum kemerah-merahan.
Menutup pintu waktu lampau
Pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang dan warna senja belum kemerah-merahan.
Menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah
pudar dan elang laut pulang ke sarang
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri dan nahkoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padakku!
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri dan nahkoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padakku!
Kembali pulang, anakku
sayang Kembali ke balik malam
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”
Asrul Sani
Siapapun akan mengartikan puisi ini dengan banyak gambaran,
prasangka bahkan pengartian. Setelah baca itu gue menentukan untuk kembali ke
kosan gue. Menangis sejadinya dan meninggalkan satu mata kuliah. Gue diijinkan
untuk menangis satu malam. Hanya satu malam ketika sehabis gue membaca puisi
tersebut. Setelah kakak gue tahu bahwa setiap malam gue selalu menangis merasa
diasingkan. Setelah sebelumnya gue merengek untuk segera pidah dari kota antah berantah.
Setelah gue menangis terlalu panjang. Dia mengirimi kalimat itu dengan membuat
gue kembali menangis.
Menangis sejadinya seperti seolah gue kehilangan arah. Gue seperti
dicabik-cabik terhadap kebodohan gue.
Perjalanan gue disini adalah salah satu tapak mimpi yang
akan gue ciptakan dikemudian hari. Tapi entah mengapa gue selalu merasa ingin
kembali pulang dengan terperangkap dibalik ketiak ibu. Meminta perlindungan dan
selalu berharap diberikan ketenangan.
Gue ini nahkoda, yang sedang melaut dipelabuhan jika terus
bersandar pada ketiak orang tua. Gue berjalan baru sampai laut dasar dan bahkan
pelabuhan gue masih kelihatan. Gue selalu merasa ombaknya besar dan tidak bisa
untuk melanjutkan. Gue seperti merasa tercekat pada jaring yang tidak siapapun
melemparnya. Gue menangis untuk kembali pulang. Bersandar pada dermaga dan
berlindung dibalik ketiak orang tua.
Sampai pada akhirnya pesan itu datang. Menampar pipi gue
yang merasa lemah pada ombak yang terlalu sederhana. Gue cinta keluarga gue,
dan gue tidak selamanya harus berlindung pada naungan
kenyamanan. Gue harus ke
laut bebas, untuk belajar bagaimana ombak yang keras. Gue harus pergi
ke
samudera luas, untuk bisa mencapai apa yang mimpi gue telah rumuskan.
Tapi pada masanya gue harus pulang. Kembali pada malam yang semakin
pekat. Bercerita tentang bagaimana perjalanan itu adanya.
Karena pada masanya
gue akan kembali, pada cerita pahit ombak yang telah gue lewati.
Tapi adanya kenapa harus selalu rindu rumah ditengah
perjalanan. Selalu merasa ombaknya terlalu besar dan ketakutan terhadap akan
matinya ditengah jalan.
Kita, anak rantau, adalah nahkoda yang sedang melaut tengah
sampai pada samudera. Kita mungkin
bisa kembali dengan mengubur apa yang telah
kita mimpikan sejak awal. Buktinya kita telah jalan sejauh ini, seindah perjalanan
ini dan sesulit yang telah kita lewati
Kita bukan pengecut yang ditakdirkan Tuhan untuk tetap
bertahan. Karena dari awal kita tidak pernah menentukan untuk kembali kepada
perlindungan.
Kita adalah nahkoda yang sedang memikirkan jalan pulang
dengan terus berjalan. Karena pada masanya kita akan kembali. Untuk bercerita
tentang apa yang telah kita lewati dan kita cita-citakan.
Karena pada waktunya kita akan pulang, merajut masa dengan
sejumput kebanggaan.
Maka untuk kalian anak rantau. Ombak ini memang terasa
kencang. Tapi akan masih banyak yang
besar didepan.
Kembali adalah pilihan
pecundang. Terus berjalan adalah pilihan pemenang.
Kita memang akan merasa diasingkan, tapi pada masanya
keterasingan itulah yang membuat kita telah berada pada apa yang dari dulu
ingin kita capai.
No comments:
Post a Comment