Tujuh belas tahun. Setiap orang punya pandangan tersendiri
dengan kehadiran angka tersebut di usianya. Kalo kebanyakan orang bilang “yes,
akhirnya gue 17 tahun! Gue dewasa!” bukan poin penting berapapun umur lo terhadap
kedewasaan, tapi tentang perilaku. “yess, 17 tahun! Gue punya KTP” random juga terhadap lo punya KTP terus lo mau ngapain? Ada juga yang bersikap dengan “yah, 17 tahun, gue makin tua. Gak bisa
berperilaku kayak anak-anak lagi” hmm..
gue sudah mejalani usia lebih dari 17 tahun dan bahkan sudah dua tahun
diatasnya. Harusnya gue seneng karena gue punya KTP dan bisa bebas kata
kebanyakan orang. Tapi enggak, gue masih belom punya KTP. Kalo mau sewa tempat
harus ajak temen gue yang punya KTP, kalo ada penilangan polisi gue selalu
deg-degan setengah mampus karena gue belom punya SIM. Aneh ya, harusnya gue
sudah melalui masa kebebasan 17 tahun yang dialami kebanyakan orang. Gue stak
sama kekerdilan gue yang tidak punya KTP karena kelurahan gue selalu bilang
“belum jadi mbak KTPnya” padahal gue
sudah mengurusnya dua tahun lalu. Sumpah. Gue sendiri bingung kenapa ini bisa
terjadi sama gue, padahal semua keluarga gue KTP nya sudah ditangan. Apa iya
gue kudu ngasih selembaran soekarno-hatta. Bukan penyelesaian yang baik gue
rasa, toh keluarga gue yang lain gak ada kebijakan suruh nyogok juga kok. Eh, bentar, kebijakan? Barusan gue bilang
kebijakan? What the fucking bulshit nyet. Sama sogok-menyogok dibilang
kebijakan. Karena emang itu “kebijakan” diliuar aturan. Ah gak tuntas bahasnya.
Ada hal lain yang mau gue bahas disini.
Well, anak-anak muda jaman ini mungkin
ngerasain situasi yang berat di angka 17 tahunya. Kenapa berat? Oke.
Mungkin gak banyak yang menyadari
“situasi berat” yang gue maksud. Karena kita sibuk have fun ngerayain ulang
tahun dimana. Sibuk nyoba-nyoba hal yang dulu dilarang orangtua. Sampe kita
lupa bahwa ada situasi lain dari kepemilikan KTP ditangan kita. Politik! Yes!
No.. no..!! gue bukan mau ngomongin soal politik terselubungnya SBY terhadap partai
lain, gue juga bukan mau ngomongin soal MK yang akan dijungkir balikan terhadap
tahtanya, apalagi soal capres kita yang.. duh dijawab sendiri aja
titik-titiknya.
Sekarang, kalo gue bilang bahwa pemuda
Indonesia lagi diambang krisis kepercayaan terhadap politik lo setuju? Atau
kalo gue bilang pemuda Indonesia yang mulai melupakan langkah politiknya
terhadap kemajuan Indonesia, lo setuju juga gak? Oke mari kita bebicara sedikit
lebih serius tentang Indonesia saat ini. Keadaan pemuda ketika mencapai usia 17
tahun tanpa gue berkata bahwa mereka dewasa atau tidaknya tapi dilihat dari
kepemilikan KTP nya menandakan bahwa, pemuda punya langkah besar terhadap
Indonesia yang harus di tuju. Tapi sayangnya, masa culture shock yang diterima
mulai diabaikan.
Makanya gue bilang bahwa pemuda Indonesia sedang diambang
krisis politik. Waktu pemilu makin mendekat, kebanyakan kita anak muda mungkin
updae status “Besok nyoblos nih.. pilih siapa eaa” oke gak penting bahasanya
yang penting adalah kebanyakan kita mulai merasa bangga ketika akan nusukin
paku di lembaran putih itu seraya bilang “gue udah punya peran penting di
Indonesia” tapi mau tau gak sih kalo ternyata peran penting bagi fikiran kita
itu mungkin ternyata justru jadi sebaliknya, peran yang merusak. Saudara gue, waktu
empat tahun lalu berdiri di balik kap abu-abu justru kebingungan setengah mati,
dia harus diposisi milih orang yang sama sekali dia gak tau resume calon
tersebut. Sampai dia menemukan dititik kematangan, ada salah satu wajah yang
dikenal. Yes, kenal dari sinetronya. Doi artis yang nyalon jadi wakil rakyat.
Sodara gue senyum bangga dengan bilang “gue gak asal milih coy” “maksudnya?”
“ya, setidaknya gue taulah siapa yang gue coblos, doi di sinetronya selalu jadi
orang baik yang disakiti” gue nyengar nyengir goblok gatau apa-apa disitu.
Serem ya, kebaikan di sinetron bisa menilai seseorang terhadap kebaikan dirinya
kah? Bukan Cuma artis dan kisah sodara gue. Bahkan mungkin banyak dari kita
yang memilih dengan menutup mata dan pura-pura lupa. Milih caleg yang senyumnya
lebih manis daripada yang lain, memilih dengan cara melihat marga yang sama,
memilih dengan siapa muka yang ganteng. Atau jangan-jangan kita yang taruh
koruptor itu duduk di kursi Negara, jangan-jangan kita yang naro tukang tidur
di kursi pemerintah, kita yang menghendaki dia duduk disana dengan alasan bahwa
kita lupa dan kita tidak tahu siapa yang kita pilih saat itu. Lebih parahnya
lagi pemuda tidak berkontribusi dalam pemilu dengan alasan bahwa ia belum
pantas dan tidak tahu siapa yang akan dipilihnya tapi ikut demo paling kenceng
ketika kebobrokan pemerintah mulai nampak. Coba kembali tanyakan pada si tukang
bakar pager senayan siapa anggota DPR yang dipilihnya dalam pemilu 2009 lalu.
Kebanyan mulai lupa.
Lalu apa yang seharusnya kita perbuat di
masa transisi menuju 17 tahun keatas. Lebih jernih sedikit berfikir tentang
kepemerintahan dan jangan bertingkah laku seolah-olah kita tidak tahu. Jangan
berteriak paling kencang ketika kita idak ikut bersuara dulu. Jangan-jangan
kita yang mulai menghancurkan politik Indonesia secara diam-diam dan
menyalahkan orang-orang di senayan. Yuk, politik itu bukan sebuah kebusukan,
bukan kehancuran dan kebobrokan. Politik harus kita genggam bersama. Biarkan
orang bilang bahwa mimpi kita terlalu konyol maupun terlalu sampah untuk
dicapai. Setidaknya kita harus baca, cari tahu siapa pemimpin yang akan
menyalonkan diri di pilpres berikutnya, siapa caleg yang akan maju di pemilu
2014. Kita harus tahu dengan alasan kia punya kebijakan memilih. Apakah kita
mau diambang krisis dengan kebodohan kita sendiri? Diam diambang kericuhan yang
perlu disuarakan. Bergerak, untuk merubah setitik dari Indonesia, yang akan
menjadi perubahan besar.
No comments:
Post a Comment