Have you ever had that feeling that you’d like to go to
whole different place and become a whole different self? Seperti kamu berada di
sebuah tempat yang baru, lalu kamu menunjukan identitas barumu. Bagi saya, Surabaya
adalah kota asing yang membuat saya terbiasa.
Tapi, sikap saya di Surabaya dan Jakarta tidak semata-mata
menjadi sama. Saya pernah beberapakali bertemu dengan kawan jakarta dan bertemu
di Surabaya. lalu kita menunjukan dua sikap yang berbeda satu sama lainnya.
Belum lama, saya bertemu dengan salah satu kakak kebanggaan
saya. Kak Iman Surahman yang merupakan guru bagi hidup saya.
Kami kenal sejak saya di bangku SMA. Lalu tanpa direncanakan saya menghampiri
acaranya di Surabaya. ada satu kata yang sampai hari ini masih terkenang.
“Gila lu, sendirian di Surabaya bisa idup?” saya hanya
membalas dengan cengengesan. Dia seorang pendongeng yang wajahnya sudah tidak
asing di dunia pertelevisian. Sayang, waktu itu saya tidak sempat berfoto. Kami
hanya berbagi kisah tentang saya disini dan dia disana. kami menjadi dua orang
yang berbeda saat sebelumnya di Jakarta. Kami menjadi pribadi yang harus saling
membagakan tentang identitas diri kami masing-masing. Walaupun, dia sudah paham
seperti apa saya.
Lalu tidak lama saya bertemu lagi dengan guru saya. Guru
menulis saya. Pak Iqbal Setyarso atau yang akrab saya panggil Pak Iq (walaupun beberapakali dia meminta saya
memanggilnya Kak Iq, haha). kami bertemu di salah satu agenda untuk membahas
tentang situasi sosial Rohingya. Di sebuah resto di hotel Surabaya kami
berbicara banyak hal. Dan yang saya tahu, diri saya berbicara jauh berbeda
dengan ketika saya bertemu beliau di Jakarta. Saya lebih berani banyak bicara
dan menyangkal beberapa pemikirannya.
Yang menarik, setelah kami berbincang saya berjanji
menemaninya memenuhi undangan di salah satu televisi swasta Indonesia. Beliau
yang menjadi tamu undangan butuh dampingan katanya. Akhirya saya mengikuti
permintaannya. Yang bikin saya tercengang adalah acara tersebut merupakan
pentas panggung para artis musik Indoneisa. Sosok seperti Slank, Kotak, CJR dan
lain sbeagainya.
Coba bayangkan saya harus menonton sebuah konser musik
bersama dengan bapak yang berusia seperti Ayah saya. Matilah saya disitu. Saya
ingin berjingkrak waktu Petra Sihombing menyanyikan lagu yang paling saya suka.
Saya ingin mengangkat tangan ke atas ketika Kotak berhasil menyanyikan
lagunya dengan sempurna. Tapi itu semua
sia sia. Saya menjadi identitas yang saya harus tutupi kewajarannya. Saya harus
tetap tenang duduk disebelahnya yang hanya diam memperhatikan panggung.
Hingga sampai penghujung acara, ada satu band yang belum
tampil. Namun waktu sudah sangat larut. Saya tahu beliau sangat lelah. Sehingga
saya pancing untuk mengajaknya pulang. lalu yang beliau lakukan adalah
mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Tunggu Slank dulu, saya slankers” saya kaget
dengan ditutupi tawa pelahan.
Benar sampai Slank muncul, beliau yang sejak tadi hanya
duduk tenang mulai berdiri. Bahkan mengeluarkan slayer yang terlihat lusuh. Ia
angkat tangannya mengikuti irama. Saya ikut berdiri menemaninya menyuarakan
kata “Slank... Kaka!!!”
Sampai lagu terakhir, “Terlalu Manis” yang dibawakan dengan
sangat indah. Ia bernyanyi dengan lantang. Bahkan sedikit berjingkrak. Saya
mengikutinya. Walaupun tidak seberani lepas jika saya bersama kawan saya
lainnya.
“Terlalu manis... untuk dilupakan.. kenangan yang indah
bersamamu...” suaranya nyaring.
Demi Tuhan ini pertama kalinya saya melihat Pak Iq bernyanyi
dengan sedikit berjoget.
Biasanya saya hanya melihatnya di balik meja dengan laptop
dan kertas tulisan saya yang sudah banyak digarisi tanda merah.
“Tulisanmu masih kurang”
“Inti tulisannya mana??”
“Coba pake perspektif sosial, bedah secara umum. Ini terlalu
ringan buat jadi tulisan”
“Duh tulisanmu sampah”
“Bulan ini tulisanmu gak masuk majalah”
“Belajar nulis lagi! Banyakin baca”
Kata kata itulah yang tidak asing ditelinga saya. Dulu
ketika saya SMA.
Sekarang, melihatnya dengan pribadi yang berbeda dari sosok Pak Iq
saya hanya bisa tersenyum panjang. Ah benar memang analogi waktu dengan pribadi manusia Bahwa semuanya tidak akan menjadi sama. Waktu membuat kita menjadi dewasa, sedang tepat mmebentuk kita menjadi siapa.
No comments:
Post a Comment