Dulu sekali, sebelum aku hadir di kota antah berantah ini,
aku pernah bermimpi. Aku pernah berandai terlalu tinggi sampai rasanya sulit
untuk kugapai. Aku pernah berdoa setiap malam untuk melantunkan apa yangaku
cita-citakan.
Dulu sekali, sebelum aku ada dikota Surabaya. Setiap malam
kulantunkan doa dalam hati, untuk berbisik pada Tuhan agar segera mendatangkan
yang aku kerap selalu harapkan. Aku berdoa diam-diam, lama sekali sampai jenuh
aku dibuat untuk mendoakannya dalam sujud terakhir. Tapi sayang, Tuhan saja
tidak pernah bosan tentang kesalahan kita yang selalu berulang. Pantaskah kita,
manusia, jenuh untuk meminta apa yang dia punya.
Sampai aku mulai berani untuk bercerita. Kepada semua orang,
aku ceritakan mimpiku akan seperti apa. Aku bercerita saja khalayak itu akan
menjadi nyata. Padahal mungkin beberapa dari mereka mengumpat dan menganggap
obrolanku adalah sia-sia. Aku bercerita, tentang mimpiku untuk segera menulis
buku. Aduhai, sayang, tulisanku saat itu saja masih tidak memiliki konteks
SPOK. Mimpiku terlampau jauh untuk menciptakan sebuah buku. Aku ceritakan
kepada semua orang tanpa rasa malu.
Tidak, aku tidak menggunakan speaker masjid
dan memberi pengumuman. Aku hanya menuliskannya dalam status media sosial yang
semua orang bisa baca. Saat memposting mimpiku itu, jujur saja hatiku dagdigdug
kacau dibuat. Beberapa orang mulai memberi acungan jempol dengan tanda like. Ah...
batinku mereka pasti mencemooh mimpiku ini terlalu tinggi.
Kutinggalkan mimpiku, membiarkanya sampai hari berganti
waktu. Pada masa yang sangat lama, jarak antar aku memposting tulisan tersebut.
Lalu tiba-tiba bertemu kawan lama yang kebetulan satu gerbong kereta. “hai..”
sapanya hangat. Tanpa bertanya kabar, ia menanyakan satu kalimat yang membuat
aku tercengang. “gimana, bukunya udah jadi?” aku diam. Bungkam. Kebingungan. “aku
baca status facebook mu tahun lalu. Aku mau dong jadi yang pertama baca”
lanjutnya menjelaskan. Mulutku masih menganga. Tuhan, kaki ini tiba-tiba lemas
dibuatnya. Aku jawab dengan senyuman termanis yang pernah ada. Otakku masih
memutar mencari jawaban yang paling tepat. Tapi sayang, sebelum sempat membuka
mulut untuk menjawabnya, pintu kereta terbuka lebar untuk penurunan penumpang. Dan
kawanku ini bagian dari penumpang yang turun di stasiun podok cina.
Status Facebook satu tahun itu membuat aku benar-benar
berfikir sepanjang jalan. Bahkan saat sampai rumah, tidak ada satupun yang aku
sapa. Panggilan ibuku untuk segera makan aku acuhkan. Ada yang lebih penting
ketimbang memikirkan perut. Ada yang lebih penting.
Aku buka laptopku, kubuka folder lama dan.. Tuhan. Datanya masih
ada jelas disana. Bagaimana ketika aku mencita-citakan untuk menulisnya satu
tahun yang lalu. Namun aku tinggalkan begitu saja tanpa pernah menolehnya.
Itu kenapa kamu butuh menceritakan mimpimu pada semua orang.
Tidak memendamnya dalam diam. Jika ada yang mencemooh, biarkan. Tunjukan cemoohannya
menjadi omong kosong di masa depan. Kamu tidak akan tahu siapa yang mengamini
mimpimu diam-diam. Kamu tidak akan tahu tentang kawanmu yang mendoakan mimpimu
segera tercapai dalam doanya kepada Tuhan. Dan suatu hari, ketika kamu
kehilangan semangat dalam perjalananmu mencapai mimpimu, Beberapa kawan lama akan
bertanya, mendukungmu dan mendorongmu
untuk mencapainya kesana.
Percayalah sayang, hidup ini bukan tentang mengumpat dibalik
diri sendiri. Ini tentang hidup, yang seharusnya kita ceritakan pada banyak orang. Sampai
saat ini, bukuku itu memang tidak ada yang menerbitkan. Aku hanya menulisnya
dengan tamat selesai. Tapi setidaknya aku telah menyempurnakan mimpiku 5 tahun
lalu. Dan, tugasku adalah memulai mimpi baru. Menceritakan kepada orang lain
agar mereka mengamininya dalam hati. Karena yang aku lakukan pada mereka yang
menceritakan mimpinya padaku adalah mengamininya dan mendoakan mereka
diam-diam.
No comments:
Post a Comment