Thursday, April 16, 2015

Anak kosan dan selembar duapuluh ribuan




Hidup bagi anak rantau dibalik dinding kamar 3x3 memang tidak selalu menynenangkan. Uang jajan yang dikirim setiap bulan menjadi alat untuk mempertahankan kebebasan. Anak kosan, berfikir untuk bagaimana caranya makan, mencari hiburan dan biaya internetan. Anak kosan, memutar balikan otak untuk menafkahi perut hingga akhir bulan dan dapat menyisihkan untuk tabungan jalan-jalan.
Sejak senin kemarin, terhitung sudah empat hari lalu uang di dompet saya sudah tinggal 20 ribu. Saya, yang selalu lupa isi dompet saya tinggal berapa ini memang suka asal dalam memilih makanan. Dan selalu lupa ada berapa uang didompet saya.  Sampai pada senin itu, saya baru sadar bahwa uang saya benar-benar tinggal 20 ribu. Di atm hanya tinggal 28 ribu.

Jika ini terjadi pada awal semester lalu, mungkin saya sudah meringkuk di kosan karena kehabisan uang. Dulu, waktu awal sekali saya menjadi anak kosan, jika di atm menunjukan uang dibawah 200 ribu, saya akan kelabakan dan segera meminta dikirimkan. Semakin kesini, saya semakin belajar.  Bahwa hidup memang tidah perlu sepanik itu, jalani saja nanti juga akan ada indahnya. Tapi uang saya ini memang benar-benar tinggal 20 ribu, dan tidak seindah yang saya gumamkan diawal.

Saya juga tipe orang yang sungkan dalam meminta uang, menagih utang dan meminta pinjaman. Jadi sejak senin itu, saya hanya menelan ludah panjang dan menerimanya dalam-dalam. Untungnya ada sahabat saya yang pernah punya utang dan lalu dia ingat untuk bayar. Tidak banyak, hanya  40 ribu jumlahnya, tapi bagi saya itu seperti piala setelah lari panjang. Sialnya senin itu ban saya bocor, bensin saya habis dan persediaan air dikosan sudah tidak ada. Matilah saya 40 ribu habis untuk kebutuhan itu semua.

Sampai pada hari selasa, uang saya kembali menjadi 20 ribu. Di dompet, hanya ada selembar itu saja. Kembali saya memutar otak. Persediaan mie instan memang masih banyak, tapi Tuhan, perut saya terlalu sayang untuk diberi racun yang akan mematikan.

Saya sebenarnya punya tabungan dengan jumlah yang lumayan di kamar, sayangnya uang itu saya masukan dalam celengan. Bodoh sekali jika saya bongkar celengan itu jikalau saya masih bisa bertahan hingga akhir pekan. Saya urungkan niat untuk membongkar celengan.  Pikir saya, makan apasaja bisa yang penting bertahan hidup.

Untungnya saya masih punya sisa sisa receh yang saya kumpulkan sejak semester awal. Sehingga untuk urusan makan, saya menggunakan recehan itu. Makan seadanya di warung depan gang. Dan asal kalian tahu, tidak ada makanan yang lebih indah dibanding yang saya makan saat itu. Hanya sayur kangkung dengan dua tempe tepung. 5 ribu rupiah saja, Tuhan setidaknya saya masih bisa bertahan sampai malam kan?

Tahu apa yang membuat saya tetap bertahan? Saya ingat sekali perkataan ayah saya saat saya kecil dulu. Saya pernah bertanya, waktu itu keluarga kami sangat kesusahan bisa pegang uang 2 ribu saja saya rasanya sangat bahagia. Jujur saja, bahkan untuk makan ayah saya tidak punya apa-apa. Di meja makan hanya ada nasi bekas semalam. Tidak lama tetangga datang memberi beberapa lauk makanan. Saat itu Cuma ada saya berdua, ayah saya sakit jadi memang sudah tidak bisa bekerja. Saya bertanya  “bi, kenapa ya keluarga kita masih bisa hidup padahal udah gak punya uang” saya ingat sekali waktu itu makanan yang diberikan dari tetangga sayur sop dan beberapa perkedel. Ayah saya tersenyum lebar, lalu diucapkan kalimat yang sampai hari ini saya tanamkan dalam hati saya “bib, setiap manusia itu udah dikasih rezekinya sama Allah. Jadi kalau rizki mereka sudah habis, mereka bakalan mati” saya diam panjang saat itu. “jadi keluarga kita masih punya rizki? Tapi gak punya uang?” ayah saya mengangguk. “kalau rizki abi udah abis, abi bakalan meninggal. Tapi gak mungkin kita meninggal sekeluarga Cuma karena kelaparan. Nih buktinya, tetangga ngasih makan. Umi, abang dan kaka kakak kamu juga diluar cari makanan” saya diam lagi panjang. Saat itu saya hanya mengangguk dan menghabiskan makanan.

Setelah lama dari kejadian itu, dan ayah saya sudah meninggal. Saya tersadar tentang apa yang dikatakannya. Uang itu bukan batasan kekayaan seseorang, tapi sebenarnya rizki yang dia punya.  Jadi saat di dompet saya tinggal 20 ribu, saya tidak akan sepanik dulu saat semester satu. Karena saya ingat, bahwa saya tidak akan mati dengan habisnya uang ini. Saya hanya berdoa, menjalankan apa yang biasanya saya lakukan.

Rabu sore, saat uang saya tinggal 15 ribu, kakak saya tiba-tiba mengontak saya. Jujur saja, saya tidak pernah bilang kalau saya tidak punya uang dan saya minta dikirimi uang selain pada ibu saya sendiri. Walaupun kakak saya semua sudah berpenghasilan, tapi rasanya tetap sungkan. Saya tidak tahu mengapa, tiba tiba saja kakak saya ini berkata “kalo butuh-butuh uang bilang” saya beranikan diri berkata “iya sekarang lagi gak punya uang” Rabu malam itu kakak saya bermaksud untuk mengirim uang kepada saya. Nasib saya, atm yang dicoba berkali-kali itu ternyata tidak bisa.

Pagi ini, saya bangun dengan uang hanya 10 ribu di dompet. Bensin saya habis,  saya harus ke kantor dan melakukan beberapa liputan. Kembali saya bongkar recehan dan makan di warung depan gang. Tidak ada yang lebih indah dari makanan pagi ini. Dan saat ini didompet saya sisa tinggal 2 ribu. Saya hanya tersenyum sepanjang jalan. “lihat bagaimana Allah rencanakan akhir yang indah untuk dompet saya ini”


No comments:

Post a Comment