Bulan lalu, saya diajak dalam perjalanan para kawan kuliah
untuk menjelajah alam. Lokasi wisata yang dikunjungi adalah pulau di ujunga Madura.
Jujur saja, dulu sekali telinga saya terlalu sensitif mendengar kata Madura. Mendengar
konflik yang terjadi di Sampang atau Sampit melibatkan kota ataupun masyarakat Madura dengan munculnya konflik kekerasan. Sehingga
fikiran saya kerap melabel bahwa betapa menyeramkannya orang Madura.
Berangkat dengan kawan kuliah dan disupiri sahabat saya,
perjalanan yang kami tempuh bahkan sampai lebih dari lima jam. Lokasi yang akan
kami tempuh berada di ujung pulau Madura, dan bahkan harus menyebrang pulau
dengan menyewa kapal. Tiba di pelabuhan Kali Anget persis ketika adzan maghrib
berkumandang, saya dibuat menakjubkan dengan banyak realitas yang saya dapat
dari jalanan. Saya melihat ada sebuah mobil pick up, di dalamnya teradapat 4
ekor sapi. Yang membuat saya semakin tercengang adalah diantara sela-sela sapi
diikat, ada segerombol manusia turut menumpang pick up tersebut. Sayang saya
tidak sempat mengambil gambar, saya hanya menatapnya lama sangat dalam. Bahkan sahabat
saya ini kehilangan keseimbangan, ia
mengaku konsentrasinya terganggu melihat mobil di depannya itu. Saya diam
sesaat, saya perkira ada belasan orang yang menumpang di sana. Ditumpukan rumput
makanan sapi dan kotoran yang dikeluarkan selama perjalanan. Mereka berdesakan.
Bahkan ada beberapa yang persis berada di pantat sapi. Tuhan, saya bayangkan
betapa merananya menjadi mereka. Tapi saya melihat mereka enjoy dengan
perjalanannya, bahkan mereka mengobrol dan tertawa antar sesama penumpang
lainnya.
Sampai di pelabuhan dengan keadaan gerimis. Kami menepi di
salah satu warung kopi pelabuhan. Dengan asupan gorengan hangat, saya menikmati
hujan dan menatap ke jalanan. Sampai ada satu pick up yang tadi mengangkut
orang dengan sapi itu lewat, saya meringis dalam hati. Mungkin mereka ingin
menumpang ke pelabuhan untuk menyebrang untuk pulang ke pulaunya masing-masing.
Duduk dengan mengunyah tahu goreng isi, sahabat saya menyenggol memberi isyarat
saya harus melihat apa yang dilihatnya. Sebuah pick up lewat lagi, persis
seperti tadi. 4 ekor sapi dengan tumpukan penumpang manusia, yang ini lebih
banyak saya perkirakan hampir 20 orang. Bahkan beberapa ada yang menggandol di
belakang.
Tidak hanya soal pick up pengangkut sapi yang ditumpangi
manusia. Dalam perjalanan, saya juga melihat sebuah bis yang berhenti di tengah
jalan semaunya. Saya tahu memang sudah biasa para supir angkutan umum berhenti
di tengah jalan tanpa perasaan menganggu pengguna jalan lainnya. Tapi bus ini
benar-benar ditengah jalan, tidak berusaha untuk menepi padahal masih ada celah
banyak. Yang lucu, pengguna jalan di belakangnya tidak ada yang mengklakson
memberi tanda bahwa itu mengganggu perjalanannya. Mereka dengan santai menyalip
bis tersebut jika mendapat celah dari arah berlawanan. Dan ini terjadi secara
berulang. Saya geleng kepala bukan main. “sudah supir bis, madura pula!” ujar
saya pelan.
No comments:
Post a Comment