Ditengah rintik-rintik hujan yang turun, saya menyantap dua
gorengan hangat yang disajikan pemilik warung. Saat itu tidak terlalu dingin,
tapi hujan setidaknya membuat cuaca tidak sepanas yang orang banyak bilang. Saya
sedang di Madura. Sebuah pulau yang terletak di timur Jawa. Menikmati gorengan
ketiga, hujan semakin besar. Saat itu saya bersama beberapa kawan untuk
menyambangi tempat wisata yang terletak
di sebrang pulau. Karena masih harus berangkat besok subuh, kami mencari
penginapan dengan budget yang sangat murah.
Sambil menikmati hujan dan mencari penginapan tersebut, kami
menikmati gorengan yang dijual warkop persis di sudut pelabuhan Kali Anget. Wajah
ibu penjual sangat jutek seperti menahan amarah. Beberapakali kawan yang
bertanya dijawab dengan singkat dan seadanya. Memang kami datang secara
ramai-ramai dan berisik banyak cerita dan tawa. Saya rasa dia terganggu dengan
kedatangan kami. “ibu ini gak seneng kita beli gorengannya ya?” saya berbisik
pada kawan di sebelah. “bukan bego, emang orang Madura mukanya gitu semua,
sensi” setelahnya saya hanya membalas kalimat oh. Berarti saya harus bersiap
pada jam-jam berikutnya akan bertemu dengan wajah serupa dari penjual gorengan
ini. wajahnya seperti ketika kalian menumpang dikamar mandi orang yang sedang
menahan pipis. Bete jutek pengen ngebacok gimana gitu.
Tidak tahan melihat sinisnya penjual gorengan ini, saya
berteduh dengan mencari tempat lain. Walaupun tidak ada bangku, setidaknya atap
toko yang tutup itu membuat saya aman dari kebasahan. Saya memandangi jalan yang
basah oleh air hujan. Menatap beberapa kendaraan yang lewat membuat kubangan
air terciprat. Tidak menyangka, saya berada di ujung kota Madura. Berjarak ratusan
kilometer dan harus di tempuh 5 jam dari Surabaya.
Sahabat saya di sebelah juga menatap jalan, sibuk dengan
fikirannya yang entah itu apa. Lalu timbul satu pertanyaan dari mulut saya “ming,
Madura gede banget ya ternyata. Tapi kenapa orang Madura tersebar di kota lain
dan bahkan menguasai daerah itu” saya bertanya. Sedikit jeda. Saya biarkan
fikiran kita bermain mencaari jawabannya. Lalu dia menjawab “orang Madura itu
kayak orang China bib, etos kerja mereka tinggi. Artinya mereka punya keinginan
kerja keras untuk mencapai kesuksesan mereka. Dan ketika mereka tidak menemukan
itu di kota mereka, lalu mereka hijrah ke kota lain buat cari kesuksesannya”
dia menjawab. Got it, bener apa
yang dikatakannya.
Seribu persen saya setuju dengan yang dikatakan sahabat saya
itu. Orang Madura memiliki keinginan yang sangat besar untuk mencapai kesuksesan
mereka. Dan di kota mereka sendiri mungkin bukan ladangnya. Sehingga mereka
berpindah ke kota lain untuk mencari peluang kesuksesan.
Pernah ke tanah abang? Saya pernah. Kalau tidak salah di
pinggiran luar blok F ada sederet pedagang beberapa macam jenis makanan. Kebetulan waktu itu saya sangat kelaparan dan ingin
makan makanan yang pas. Sudah lama di Suabaya dan peluang ke
Jakarta hanya ketika liburan, saya rasa beli makanan yang khas Jakarta tidak ada salahnya. Saya pilih
soto Betawi sebagai pemadam kelaparan saya siang itu. Ditengah menikmati suapan
soto Betawi tersebut, pedagang soto yang saya beli itu berbincang dengan pedagang
nasi padang di sebelahnya. Saya sedikit tersedak mendengar pembicaraan mereka. Memang,
saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, sama sekali tidak tahu. Yang saya
kagetkan adalah logat yang mereka pake adalah Madura. Saya tahu logat tersebut
karena ada kawan saya yang orang Madura. Ini Jakarta loh ya, Jakarta apa segitu
kekurangan orang Betawi kah sampai penjual soto betawi harus orang Madura. Pedagang
nasi padang di sebelahnya juga, tidak jauh ada pedagang mie ayam Jakarta yang
diajak berbicara dengan logat yang sama.
Yang membuat saya berfikir saat itu adalah kenapa mereka
tidak mengharumkan nama kota mereka sendiri, ketimbang menjual nama kota yang
menjadi tempat mereka menumpang. Soto Madura bahkan tidak kalah enak dengan
soto Betawi. Nasi Madura pula menikmati kenikmatan yang sama dengan Nasi
Padang.
Tidak hanya di Jakarta, saya kerap menemui beberapa daerah
yang terdapat sekumpulan orang Madura. Menetap
disana dan berpenghasilan dengan jumlah yang lumayan.
Obrolan ditengah gerimis itu saya lanjutkan ketika menyantap makan malam di salah satu warung pelabuhan. Saat itu saya bertanya pada kawan lain mengenai apa yang saya fikirkan. Dia menjawab hal yang hampir serupa dengan sahabat saya ini. “Gila ya Madura tuh ternyata gede buanget, tapi yang gue liat selama perjalanan kosong di beberapa lahan. Artinya rumah disini masih sedikit dibanding lahan-lahan kosong seperti hutan, sawah atau tambak. Kenapa mereka gak bangkitin kota mereka sendiri dan malah hijrah ke kota lain”
Kami memang belum melakukan penelitian tentang apa yang kami
dapatkan melihat pulau diatas timur Jawa ini. Tapi setidaknya obrolan saya itu
membuahkan semangat dalam diri saya. Bahwa hidup bukan tentang berpangku pada
tempat kelahiran. Terkadang kita butuh hijrah ke kota lain untuk mendapat apa
yang kita citakan. Sama seperti Madura, yang merasa bahwa kotanya tidak akan
membuat kemajuan. Bukan berarti hanya diam dan meratap pada nasib hidup. Setidaknya
kita harus menentukan pilihan untuk keluar, hingga mendapatkan apa yang kita
inginkan dan lalu tidak lupa untuk pulang.
No comments:
Post a Comment