Kalau aku menangis apa kamu selalu setuju bahwa saat itu aku
dalam kesedihan yang teramat sakit.
Lantas menangisku dalam isak supaya semua orang tahu bahwa kesedihanku
saat itu terlalu dalam untuk dirasakan.
Kalau aku tertawa apa kamu selalu
setuju bahwa saat itu aku dalam kebahagiaan yang teramat hingga kamu merasa
perlu tertawa untuk sekedar ikut bahagia. Sampai-sampai perutku sakit karena
terlamapu terpingkal atau tawa yang dibuat-buat untuk sekdar memperlihatkan aku
sedang bahagia.
Apa selalu seperti itu? Kalu aku diam dianggap marah padahal
aku terlalu setuju sampai bibirku hanya bisa diam melihatmu. Aku tersenyum,
dianggapmu setuju padahal teramat aku kesal melihat tingkah lakumu.
Kamu tahu, dalam sebuah buku tebal yang hanya aku mau baca
ketika dosen memintaku membacanya. Ada sebuah kalimat, yang terlalu sering kita
dengar, terlalu sering kita baca, tapi membuatku berulang-ulang membacanya.
Sederhana saja. Pandangan positivisme Auguste Comte. Aku tidak akan
menjelaskannya secara detail, berlibet dan bahkan kamu akan sangat bosan
membacanya. Karena disini, yang aku ingin tulis bukan mengapa Comte menciptakan
teori itu, keterkaitan teori itu atau apapun. Sederhana saja aku mengatakan
pengertian Positivisme “Apa yang terjadi
seperti itulah realitas sebenarnya” aku tahu ini terlalu sederhana, atau
bahkan banyak Sosiologis yang tidak akan menerima. Jadi kalau kamu mau lebih
tahu apa itu, kamu bisa membacanya di buku tebal itu, atau sekedar mencarinya
di bapak gugel serba tahu.
Dalam teori itu, aku dituntut untuk menjadi sok tahu.
Menyatakan hal-hal yang hanya tersirat dari padangan mata. Tanpa sempat mencari
tahu lebih detailnya. Saat aku melihat seorang gelandangan yang mengemmis
dipinggir jalan dengan baju compang camping yang digunakan, mata tertutup sebelah,
bau yang sudah tidak jelas dari mana asalnya, sesekali ia meneguk air dari
botol tak berlebel yang sedikit kuning. Aku akan cepat menduga, betapa kashian
hidupnya, menjadi susah, tidak punya uang, tidak punya rumah dan bahkan tidak
bisa bahagia. Hanya dalam pandangan mata aku dapat menyimpulkan kehidupan
seseorang. Bukankah itu kejam? Padahal ternyata ketika hendak pulang si
pengemis tadi dijemput mobil mewah, berpenghasilan 5 juta perharinya dan punya
rumah dikawasan elit. Dan, siapa yang lebih kejam ternyata?
Kalau kamu sedang melihat seseorang tertawa lebar, apa
sebenarnya ia dalam posisi terlalu bahagia? Sampai kamu menyimpulkan tidak ada
masalah besar dalam hidupnya atau bahkan sekedar iri hidupnya terasa lebih
ringan dibanding kamu. Apa sesederhana itu? Melihat seseorang diam, bungkam,
lalu kamu pastikan dia dalam posisi amarah, yang membuat kamu enggan menggubrisnya.
Tanpa sekedar bertanya untuk memastikan walau berawal dari basa-basi sampah.
Kenapa banyak dari kita yang sibuk menganut paham positivisme
ini dalam keadaan yang sepatutya tidak perlu, membuat bahkan banyak
kerenggangan dalam hubungan.
Kenapa banyak dari kita yang terlalu cepat memastikan tanpa
lebih dulu menanyakan. Yang sehingga dari itu membuat kesalahpahaman fatal.
Kalau kamu bisa lebih dulu menanyakan, lalu mengapa dengan
lantang kamu pastikan dan beri tahu pada semua orang. Karena apa yang kamu
lihat, kamu baca dan kamu dengar tanpa kamu cari tahu kebenaranya pada yang
bersangkutan belum tentu yang terjadi sebenarnya, kawan.
No comments:
Post a Comment