Saturday, March 15, 2014

Positivisme ; Kamu Bisa Terlihat Menjadi dungu




Kalau aku menangis apa kamu selalu setuju bahwa saat itu aku dalam kesedihan yang teramat sakit.  Lantas menangisku dalam isak supaya semua orang tahu bahwa kesedihanku saat itu terlalu dalam untuk dirasakan. 
Kalau aku tertawa apa kamu selalu setuju bahwa saat itu aku dalam kebahagiaan yang teramat hingga kamu merasa perlu tertawa untuk sekedar ikut bahagia. Sampai-sampai perutku sakit karena terlamapu terpingkal atau tawa yang dibuat-buat untuk sekdar memperlihatkan aku sedang bahagia.

Apa selalu seperti itu? Kalu aku diam dianggap marah padahal aku terlalu setuju sampai bibirku hanya bisa diam melihatmu. Aku tersenyum, dianggapmu setuju padahal teramat aku kesal melihat tingkah lakumu.

Kamu tahu, dalam sebuah buku tebal yang hanya aku mau baca ketika dosen memintaku membacanya. Ada sebuah kalimat, yang terlalu sering kita dengar, terlalu sering kita baca, tapi membuatku berulang-ulang membacanya. Sederhana saja. Pandangan positivisme Auguste Comte. Aku tidak akan menjelaskannya secara detail, berlibet dan bahkan kamu akan sangat bosan membacanya. Karena disini, yang aku ingin tulis bukan mengapa Comte menciptakan teori itu, keterkaitan teori itu atau apapun. Sederhana saja aku mengatakan pengertian Positivisme “Apa yang terjadi seperti itulah realitas sebenarnya” aku tahu ini terlalu sederhana, atau bahkan banyak Sosiologis yang tidak akan menerima. Jadi kalau kamu mau lebih tahu apa itu, kamu bisa membacanya di buku tebal itu, atau sekedar mencarinya di bapak gugel serba tahu.

Dalam teori itu, aku dituntut untuk menjadi sok tahu. Menyatakan hal-hal yang hanya tersirat dari padangan mata. Tanpa sempat mencari tahu lebih detailnya. Saat aku melihat seorang gelandangan yang mengemmis dipinggir jalan dengan baju compang camping yang digunakan, mata tertutup sebelah, bau yang sudah tidak jelas dari mana asalnya, sesekali ia meneguk air dari botol tak berlebel yang sedikit kuning. Aku akan cepat menduga, betapa kashian hidupnya, menjadi susah, tidak punya uang, tidak punya rumah dan bahkan tidak bisa bahagia. Hanya dalam pandangan mata aku dapat menyimpulkan kehidupan seseorang. Bukankah itu kejam? Padahal ternyata ketika hendak pulang si pengemis tadi dijemput mobil mewah, berpenghasilan 5 juta perharinya dan punya rumah dikawasan elit. Dan, siapa yang lebih kejam ternyata?

Kalau kamu sedang melihat seseorang tertawa lebar, apa sebenarnya ia dalam posisi terlalu bahagia? Sampai kamu menyimpulkan tidak ada masalah besar dalam hidupnya atau bahkan sekedar iri hidupnya terasa lebih ringan dibanding kamu. Apa sesederhana itu? Melihat seseorang diam, bungkam, lalu kamu pastikan dia dalam posisi amarah, yang membuat kamu enggan menggubrisnya. Tanpa sekedar bertanya untuk memastikan walau berawal dari basa-basi sampah.

Kenapa banyak dari kita yang sibuk menganut paham positivisme ini dalam keadaan yang sepatutya tidak perlu, membuat bahkan banyak kerenggangan dalam hubungan.

Kenapa banyak dari kita yang terlalu cepat memastikan tanpa lebih dulu menanyakan. Yang sehingga dari itu membuat kesalahpahaman fatal.

Kalau kamu bisa lebih dulu menanyakan, lalu mengapa dengan lantang kamu pastikan dan beri tahu pada semua orang. Karena apa yang kamu lihat, kamu baca dan kamu dengar tanpa kamu cari tahu kebenaranya pada yang bersangkutan belum tentu yang terjadi sebenarnya, kawan.

No comments:

Post a Comment