Wednesday, March 18, 2015

Untuk : Mahasiswa Terdahulu dari Kami Mahasiswa Masa Kini





Setelah lama saya gerah dengan banyak sindiran di media sosial maka ijinkan saya menuturkan perasaan saya. Sebentar saja tulisan ini untuk dibaca. Mengenai apa yang dikeluhkan oleh para tetua, mengenai apa yang disayangkan oleh para angkatan reformasi sebelumnya. Sindiran yang lembut atau menohok saya lihat setiap harinya. Mengenai narsisnya  kaum muda dibalik tongsis, sedang negaranya diambang krisis.
Para mahasiswa yang katanya dulu, adalah pejuang atas segala sistem yang salah. Para mahasiswa yang katanya dulu adalah pembela rakyat dari kejahatan pemerintah. Para mahasiswa yang katanya dulu adalah penggerak perubahan. Lalu semua seperti hilang, bungkam di balik instagram.
Saya setiap hari mendengar baik secara langsung maupun selentingan, mengenai mahasiswa yang tunduk duduk menunggu ipk keluar. Sedangkan pemerintahannya dipuncak krisis kepercayaan. Sistem yang dibolak balik, hukum yang diinjak-injak uang dan bahkan wewenang yang senaknya digunakan.
Lihat bagaimana harga beras yang semakin membumbung tinggi, bagaimana bbm yang dinaikkan atas nama pendidikan (katanya) dan lalu transportasi umum (non bbm) naik dengan persentase yang tidak rasional.
Tapi sayangnya, kami (para mahasiswa masa kini) hanya bisa tertunduk dibalik buku dan tuturan dosen dikelas. Menunggu ipk keluar atau menunggu jadwal sidang. Kami (para mahasiswa masa kini) tidak bisa turun ke jalan, membela hak rakyat atas kebijakan pemerintah yang semakin aneh-aneh saja.  Kami lebih memilih mencari perkara lain untuk diselesaikan. Memilih bagaimana kesejahteraan PKL dilingkungan kampus tanpa berfikir bahwa harga beras dan bbm lebih penting ketimbang lapak mereka yang masih belum memiliki status. Bagi kami lahan parkir kampus lebih penting untuk diurusi ketimbang menagih janji presiden yang sebelumnya kami pilih.
Maka kami (para mahasiswa masa kini) memohon maaf jika tidak bisa turun ke jalan. Berpanas-panasan dan berteriak lantang menyuarai kebebasan. Karena kami malu, sangat sangat malu. Telah mengagung-agungkan calon yang salah. Memilih dengan pandangan sebelah mata yang kami buka. Kami hanya merasa terlalu sungkan, dengan para lawan yang kami habisi mati-matian di debat calon presiden saat itu. Kami merasa tidak punya muka, untuk mereka yang ternyata menyuarakan kebenaran yang kami baru sadari sekarang.
Bahkan kami masih memiliki beberapa dendam, dengan mereka yang memilih calon kandidat nomor lainnya. Bahkan kami masih belum berteggur sapa karena berdebat panjang dengan emosi seharian.
Yang kami rasakan saat ini adalah malu. Untuk menuntut keadilan dari sosok yang kami agungkan. Kami merasa sangat malu untuk menjatuhkan calon yang kami dukung mati-matian.
Maaf para mahasiswa dahulu, yang dengan peluh keringat, air mata membela hak rakyat di era refomasi. Maaf para mahsiswa terdahulu saat kalian menuntut pemimpin dan dapat menjatuhkannya. Kami hanya bisa bungkam, membuka path dan hanya main instagram. Dibanding harus berpanas-panasan dan berteriak didepan kantor pemerintah.

No comments:

Post a Comment