Jengahkah kamu? Bosan atau terlalu membenci saya?
Marahkah kamu? Kecewa atau terlalu menganggap buruk kepada saya?
Marahkah kamu? Kecewa atau terlalu menganggap buruk kepada saya?
Ada apa gerangan? Apa saya terlalu kekanakan? Terlalu mengatur
dan terlalu banyak menyusahkan?
Sehingga lengkap sudah kamu menjadi diam dan seperti orang yang tidak saya kenal.
Sehingga lengkap sudah kamu menjadi diam dan seperti orang yang tidak saya kenal.
Apa mungkin saya terlalu berharap banyak, untuk menjadi
orang yang akan kamu ceritakan pertama kali dalam kondisi buruk dan bahagiamu.
Apa mungkin hanya saya, yang dalam keadaan apapun ingin membagi cerita kepadamu, karena jika tidak rasanya akan janggal.
Apa mungkin hanya saya, yang dalam keadaan apapun ingin membagi cerita kepadamu, karena jika tidak rasanya akan janggal.
Apa kamu terlalu bosan untuk sekedar mendengar ceritaku? Dan
sekedar bercerita tentang siapa gerangan yang sedang membuatmu tersipu? Dan lalu
kamu mencari seseorang yang baru, yang mungkin bisa mendengarkanmu lebih dari
aku. Yang mungkin punya cerita yang lebih sempurna dibanding ceritaku.
Saya memang terlalu bodoh untuk menyayangi seorang sahabat
yang hanya menganggap saya teman mainnya.
Saya memang terlalu naif untuk menganggap seseorang sebagai satu-satunya, lalu ternyata yang dia butuhkan adalah bukan saya.
Saya memang terlalu naif untuk menganggap seseorang sebagai satu-satunya, lalu ternyata yang dia butuhkan adalah bukan saya.
Rasanya seperti saya terlalu mencintaimu, tapi kamu memang
hanya mengenali saya.
Demi Tuhan, saya membenci siapapun dia yang membuatmu
menjadi seperti ini kepada saya. Tapi jikalau itu dirimu sendiri, maka mana
bisa saya membencimu. Atau jika ternyata itu adalah orang yang kamu cintai,
maka apa daya saya .
Apa saya terlalu asing bagimu? Hingga bercerita padamu sepertinya
kamu hanya malas mendengar dan lebih nyaman membalas pesan, yang aku tahu dari
siapa, tapi kamu tidak ingin menyebutkannya.
Untuk menatapmu saja, saya butuh keberanian dua kali,
berbeda dengan sebelumnya. Yang saya takuti kamu tidak lagi mau ditatap seperti
sebelumnya.
Untuk sekedar berbicara padamu saja, rasanya saya butuh berkali-kali latihan otak agar saya tidak pernah salah bicara, berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Untuk sekedar berbicara padamu saja, rasanya saya butuh berkali-kali latihan otak agar saya tidak pernah salah bicara, berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Dua minggu lalu, kita masih duduk berdua dan berharap
persahabatan ini memang untuk selamanya.
Dua minggu lalu, saya masih merasakan setidaknya kamu masih perduli kepada saya.
Dua minggu lalu, saya masih merasakan setidaknya kamu masih perduli kepada saya.
Lalu sekarang, semua seperti hilang. Seperti kamu seseorang
yang saya tahu, bukan saya kenal.
Kamu pernah? Merindukan seseorang yang padahal ia persis ada
didepanmu?
Menangisinya secara diam-diam padahal ia ada disisimu. Dulu, akan sangat mudah untuk menangis dipangkuannya, sangat lama.
Menangisinya secara diam-diam padahal ia ada disisimu. Dulu, akan sangat mudah untuk menangis dipangkuannya, sangat lama.
Tapi lalu saat ini saya mengangisi dia, yang sepertinya jengah dan
lalu ingin meninggalkan saya.
Apa dia perduli? Mungkin tidak sama sekali. Tidak seperti
dua minggu lalu yang saya batuk saja dia cemas untuk bertanya bahwa apa aku
baik-baik saja.
Saya hanya merindukan seseorang, yang padahal dia ada
didepan saya.
Saya hanya tidak ingin ditinggalkan padahal saya teramat
mencintai dia.
Maaf karena saya terlalu kekanakan. Dan saya terlalu
menganggap kamu lebih padahal kita memang biasa-biasa saja.
No comments:
Post a Comment